Jakarta, EKOIN.CO – Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU., secara resmi membuka kegiatan “Global South and Southeast Asia Forum 2025” pada Rabu (11/6), di Ruang Apung Perpustakaan UI, Kampus Depok, Jawa Barat.
Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI dan Global South Network (GSN). Tujuan utamanya adalah mempererat kerja sama antarnegara Global South dan Asia Tenggara dalam berbagai bidang strategis.
Sebanyak 26 intelektual dari 10 negara hadir untuk berdiskusi. Mereka berasal dari Indonesia, Singapura, China, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Filipina, Thailand, Timor-Leste, dan Brunei Darussalam.
Para peserta membahas isu-isu penting seperti politik, ekonomi, sosial budaya, keberlanjutan lingkungan, hingga peluang energi terbarukan. Seluruh pembahasan mengacu pada tantangan global yang dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Dalam sambutan pembukanya, Prof. Heri menyampaikan pentingnya dampak nyata dari forum ini. “Minggu lalu kita ada forum Rektor BRICS+ di Rio de Janeiro dan hari ini ada Global South and Southeast Asia di UI. Tentunya, ini adalah event yang sangat excellent. Namun, excellent saja tidak cukup. Harus ada impact dari kegiatan ini yang bisa membawa kemajuan bagi semua pihak,” ujarnya.
Forum Intelektual Berbasis Realitas Lokal
Prof. Heri juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi tersembunyi yang dapat dimaksimalkan. Menurutnya, kekayaan sosial, ekonomi, serta biodiversity perlu dijadikan kekuatan utama dalam menjalin kemitraan strategis.
“Potensi-potensi tersebut dapat memicu kerja sama lebih lanjut bagi para pemimpin yang hadir,” tambahnya. Ia berharap forum ini mampu menjadi jembatan untuk menyatukan kekuatan negara-negara di wilayah Selatan Global.
Yang Ping, Initiator of GSN dan Chairman of Beijing Longway Economic and Social Research Foundation, turut menyampaikan pandangannya mengenai arah gerak negara-negara Selatan dalam menghadapi perubahan global.
Ia menekankan bahwa GSN bertujuan membangun sistem wacana pengetahuan yang berakar pada sejarah, budaya, dan identitas nasional masing-masing negara. Dengan begitu, pembangunan tidak lagi bertumpu pada model Barat.
“Saat dunia memasuki era ketidakstabilan dan kompleksitas, pergolakan di Amerika Serikat dan Barat mengarahkan umat manusia menuju masa depan yang tidak dapat diprediksi,” ujar Yang Ping dalam sesi pleno.
Menuju Kesadaran Intelektual Mandiri
Yang Ping menyatakan bahwa negara-negara Selatan kini berada di tengah era kebangkitan intelektual. Ia mendorong kawasan Asia Tenggara untuk memupuk kesadaran dan identitas akademik sendiri, tanpa bergantung pada pendekatan luar.
“Global South harus berperan aktif dan kaum intelektual di wilayah ini harus berpartisipasi dalam pembangunan. Kami percaya bahwa intelektual yang bijaksana pasti memiliki pengetahuan, tetapi akademisi yang berpengetahuan belum tentu bijaksana,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa persatuan kawasan menjadi kunci penguatan ekonomi dan diplomasi global.
Pihak UI menyambut baik kerja sama lintas negara ini. Forum tersebut dianggap sebagai langkah konkret dalam membangun jaringan pemikiran global yang setara dan berkelanjutan.
Diskusi dan dialog antarnegara dirancang untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan nyata. Beberapa topik yang mendapat perhatian khusus adalah ketimpangan pembangunan dan ketahanan terhadap krisis global.
Menghadapi Dunia yang Tidak Stabil
Forum ini berlangsung dalam suasana penuh antusiasme, mengingat tantangan geopolitik dan krisis iklim yang sedang berlangsung. Seluruh delegasi sepakat bahwa solidaritas negara-negara Selatan menjadi sangat krusial saat ini.
Menurut panitia, kegiatan ini akan dilanjutkan dengan sesi tertutup yang membahas kolaborasi riset lintas universitas dan penerbitan jurnal akademik bersama. Target jangka panjangnya adalah memperkuat posisi Global South dalam arsitektur global.
Tidak hanya pemangku kebijakan dan akademisi, forum ini juga melibatkan mahasiswa sebagai peserta aktif. Kehadiran generasi muda dianggap penting untuk keberlanjutan gagasan dan kerja sama ini.
Kegiatan ditutup dengan penyerahan cendera mata dan kesepakatan awal pengembangan program mobilitas akademik antarnegara peserta. Diskusi lintas budaya dan sistem pendidikan menjadi bagian penting dari kesepakatan tersebut.
Forum Global South and Southeast Asia 2025 memberikan momentum penting bagi negara-negara berkembang untuk memperkuat posisi mereka dalam tatanan dunia yang tengah berubah. Dengan mempertemukan para intelektual lintas negara, forum ini berhasil membangun kesadaran kolektif mengenai pentingnya kerja sama yang berakar pada realitas lokal.
Peran intelektual dalam membangun model pembangunan yang berkeadilan menjadi sorotan utama dalam forum ini. Kesadaran akan perlunya pendekatan berbasis sejarah dan budaya sendiri menjadi langkah awal menuju kemandirian pemikiran dan strategi kebijakan. Inisiatif seperti GSN dapat menjadi motor penggerak arah baru pembangunan negara-negara Selatan.
Ke depan, penguatan kerja sama akademik, pertukaran pelajar, serta pengembangan riset bersama harus menjadi tindak lanjut nyata dari forum ini. Jika konsistensi dan komitmen dijaga, forum ini berpotensi menghasilkan dampak jangka panjang yang konkret, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun diplomasi internasional.(*)