Jakarta, EKOIN.CO – Film dokumenter pendek asal Indonesia berjudul Mama Jo, karya Ineu Rahmawati, berhasil meraih penghargaan bergengsi “Best Short Documentary” dalam ajang Golden FEMI Film Festival yang diselenggarakan di Hotel Balkan Palace, Sofia, Bulgaria (7/6).
Penghargaan tersebut diterima oleh KUAI Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sofia, Irvan Fachrizal. Ajang ini turut dihadiri oleh Iliana Iotova, Wakil Presiden Republik Bulgaria, anggota dewan juri, para pembuat film, serta para tamu undangan dari berbagai negara.
Sutradara Ineu Rahmawati menyampaikan pesan terima kasih secara resmi kepada panitia, juri, dan penonton atas apresiasi yang diberikan terhadap film Mama Jo. Ia tidak dapat hadir langsung karena kendala logistik, namun tetap mengirimkan salam hangat dari Indonesia.
Film dokumenter ini mengangkat kisah tentang Santi, seorang ibu asal Indonesia, dan putranya Johan, anak berusia sembilan tahun yang hidup dengan kondisi cerebral palsy. Dokumenter tersebut menggambarkan realitas perjuangan keluarga penyandang disabilitas.
“Film ini adalah pengingat bahwa inklusi, akses, dan martabat adalah hak universal yang harus kita junjung bersama,” demikian disampaikan dalam pidato penerimaan penghargaan.
Fokus pada Isu Disabilitas
Melalui Mama Jo, Ineu menyuarakan keteguhan hati dan cinta seorang ibu dalam menghadapi tantangan sosial dan medis. Cerita ini tidak hanya relevan di Indonesia, tetapi juga menyentuh masyarakat global yang menghadapi situasi serupa.
Pesan universal dalam dokumenter ini diterima dengan antusias oleh penonton dan juri festival. Mereka menilai film ini berhasil menyampaikan pesan kemanusiaan secara jujur dan emosional.
Penghargaan ini menjadi salah satu pengakuan penting atas karya dokumenter Indonesia yang kerap terpinggirkan dibandingkan genre lain. Namun, perhatian dunia terhadap isu disabilitas semakin meningkat, dan film ini hadir di saat yang tepat.
Golden FEMI Film Festival dikenal sebagai wadah apresiasi terhadap film-film yang membawa misi sosial dan pesan mendalam. Festival ini setiap tahunnya menerima ratusan film dari berbagai negara dan wilayah.
Dengan penghargaan ini, Mama Jo menambah daftar panjang film Indonesia yang memperoleh pengakuan internasional, sekaligus menjadi simbol dari kekuatan cerita-cerita lokal yang mampu menembus batas geografis dan budaya.
Kebangkitan Film Indonesia
Prestasi ini hadir di tengah lonjakan minat masyarakat terhadap film nasional. Pada tahun 2024, tercatat 68,95 juta penonton menyaksikan film Indonesia, angka tertinggi sepanjang sejarah perfilman nasional.
Dalam kurun waktu yang sama, jumlah layar bioskop juga meningkat menjadi 2.088, yang tersebar di berbagai kota besar dan menengah di Indonesia. Sebagian besar film yang ditonton berasal dari produksi lokal.
Tren ini mencerminkan kebangkitan cerita-cerita orisinal yang mencerminkan realitas sosial Indonesia. Film dokumenter, seperti Mama Jo, menjadi salah satu genre yang semakin banyak diminati dan diapresiasi.
Menurut proyeksi analis industri, pertumbuhan film Indonesia akan mencapai 20% hingga 2027. Kenaikan ini didorong oleh permintaan terhadap dokumenter, animasi, dan kisah autentik yang menyentuh sisi kemanusiaan.
“Mulai dari narasi fiksi hingga dokumenter yang menyuarakan kesadaran sosial seperti Mama Jo, para sineas Indonesia semakin menunjukkan keberanian mereka untuk menyuarakan yang tak terlihat, yang terpinggirkan, dan kekuatan jiwa manusia dalam segala kompleksitasnya.”
Diplomasi Budaya Melalui Film
Penghargaan Best Short Documentary di Sofia ini menjadi bukti bahwa sinema dapat menjembatani pemahaman lintas budaya dan menumbuhkan empati antarbangsa.
Film Mama Jo direncanakan akan diputar pula di klub film Universitas Sofia dalam waktu dekat. Penayangan ini menjadi bagian dari program pertukaran budaya antara Indonesia dan Bulgaria.
Atas nama sutradara Mama Jo dan komunitas perfilman Indonesia, KBRI Sofia menyampaikan terima kasih kepada Golden FEMI Film Festival atas penghargaan ini. Mereka berharap kolaborasi global dalam bidang seni dan budaya terus berkembang.
Kehadiran film Indonesia dalam ajang internasional seperti ini diharapkan dapat memperkuat diplomasi budaya yang mengedepankan nilai-nilai inklusivitas, solidaritas, dan kemanusiaan.
Dengan semakin banyaknya karya film dokumenter Indonesia yang meraih panggung global, maka penting bagi pemangku kebijakan di dalam negeri untuk memberikan ruang dan dukungan yang lebih besar bagi pembuat film independen.
Pencapaian film Mama Jo menjadi momentum penting untuk membangkitkan kembali perhatian terhadap dokumenter sosial di Indonesia. Melalui kisah nyata yang sederhana namun kuat, film ini membuktikan bahwa kemanusiaan adalah bahasa universal yang bisa dipahami lintas bangsa.
Keterlibatan Indonesia dalam ajang internasional semacam Golden FEMI tidak hanya membawa prestasi, tetapi juga memperluas jejaring seni dan budaya. Diplomasi budaya lewat sinema dapat menjadi jembatan yang kokoh untuk membangun solidaritas global atas isu-isu sosial yang kerap terabaikan.
Ke depan, diperlukan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, untuk mendorong sineas lokal mengangkat isu-isu autentik dan memperluas akses terhadap platform festival global. Film dokumenter seperti Mama Jo adalah cermin dari masyarakat yang tidak hanya ingin didengar, tapi juga dipahami.(*)