New York, EKOIN.CO – Amerika Serikat memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan gencatan senjata segera antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Pemungutan suara tersebut berlangsung pada Rabu (4/6/2025), di tengah meningkatnya krisis kemanusiaan yang melanda wilayah tersebut.
Dari total 15 anggota Dewan Keamanan, 14 negara memberikan suara mendukung resolusi tersebut, termasuk Inggris dan Prancis. Hanya Amerika Serikat yang menggunakan hak veto, menghentikan adopsi resolusi yang mendesak penghentian pertempuran serta akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan.
“Amerika Serikat telah menegaskan: Kami tidak akan mendukung tindakan apa pun yang gagal mengutuk Hamas dan tidak menyerukan Hamas untuk melucuti senjata dan meninggalkan Gaza,” ujar Penjabat Duta Besar AS untuk PBB, Dorothy Shea, menjelang pemungutan suara.
AS menyatakan bahwa resolusi tersebut akan mengganggu upaya diplomatik yang dipimpin Washington untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata. Amerika Serikat dikenal sebagai sekutu utama dan pemasok senjata terbesar Israel dalam konflik berkepanjangan ini.
Penolakan resolusi tersebut memunculkan reaksi beragam dari para anggota dewan, serta mempertegas perpecahan dalam tubuh PBB terkait konflik di Gaza yang telah menewaskan puluhan ribu warga sipil Palestina.
Krisis Kemanusiaan di Gaza Memburuk
Menurut laporan dari Reuters, lebih dari 2 juta penduduk Gaza kini menghadapi kelaparan dan kekurangan air bersih. Meskipun Israel mencabut blokade sebagian pada bulan lalu, arus bantuan masih sangat terbatas dan jauh dari cukup untuk menjangkau seluruh populasi terdampak.
Israel sendiri terus melanjutkan operasi militer sejak berakhirnya gencatan senjata pada Maret 2025. Otoritas kesehatan di Gaza menyebutkan bahwa pada hari pemungutan suara, sebanyak 45 warga Palestina tewas akibat serangan Israel, sementara satu tentara Israel dilaporkan tewas dalam pertempuran.
Di sisi lain, Duta Besar Inggris untuk PBB, Barbara Woodward, mengkritik keputusan pemerintah Israel untuk membatasi bantuan kemanusiaan dan memperluas serangan di Gaza. Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai “tidak dapat dibenarkan, tidak proporsional, dan kontraproduktif.”
Seruan untuk gencatan senjata tanpa syarat terus ditolak oleh Israel. Pemerintah Tel Aviv menyatakan bahwa Hamas tidak boleh dibiarkan tetap berada di Gaza, karena dianggap sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional Israel.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, juga menanggapi pemungutan suara dengan menyalahkan negara-negara yang mendukung resolusi tersebut. “Anda memilih peredaan dan penyerahan. Anda memilih jalan yang tidak mengarah pada perdamaian. Hanya menuju lebih banyak teror,” kata Danon.
Reaksi dari Hamas dan Komunitas Internasional
Kelompok Hamas mengecam keras veto yang dilakukan AS, menyebutnya sebagai bukti kebutaan Washington terhadap penderitaan rakyat Palestina. Dalam pernyataannya, Hamas menilai keputusan tersebut hanya memperpanjang penderitaan dan menambah korban jiwa.
Selain menyerukan gencatan senjata, resolusi Dewan Keamanan yang diveto itu juga mencantumkan tuntutan untuk pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera yang masih ditahan oleh Hamas dan kelompok lainnya di Gaza.
Sejak eskalasi besar dimulai pada Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina tewas, berdasarkan data otoritas kesehatan Gaza. Sebagian besar korban merupakan warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan.
Jumlah korban terus bertambah seiring serangan udara dan darat yang dilakukan pasukan Israel di berbagai wilayah Gaza. Ribuan mayat dilaporkan masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang hancur akibat pemboman.
Meningkatnya tekanan internasional membuat Israel sempat membuka kembali jalur bantuan pada 19 Mei 2025. Namun, pengiriman tersebut tetap terbatas dan dikendalikan ketat oleh otoritas militer Israel.
Sistem Distribusi Bantuan GHF Tuai Kontroversi
Pekan setelah jalur bantuan dibuka, Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) — lembaga yang didukung oleh AS dan Israel — mulai mengoperasikan sistem distribusi bantuan baru. GHF menggandeng perusahaan keamanan dan logistik swasta dari AS untuk menyalurkan bantuan ke lokasi-lokasi yang ditentukan.
Israel dan AS menuduh Hamas mencuri bantuan yang masuk ke Gaza. Tuduhan itu dibantah oleh pihak Hamas, yang menyebutnya sebagai alasan untuk menghambat penyaluran bantuan kemanusiaan secara luas.
Namun, GHF mendapat penolakan dari sejumlah lembaga bantuan internasional dan PBB karena dianggap tidak netral. Banyak pihak menyatakan sistem baru tersebut mempersulit warga sipil dan justru memaksa perpindahan paksa dari wilayah konflik.
Menurut Shea, sistem distribusi yang sebelumnya digunakan tidak efisien dan mengandung banyak kekurangan dalam menjangkau warga yang membutuhkan. Ia menilai GHF sebagai solusi alternatif yang lebih aman dan terstruktur.
“Tidak seorang pun ingin melihat warga sipil Palestina di Gaza kelaparan atau kehausan,” ujar Shea. Ia menambahkan bahwa keselamatan sipil harus menjadi prioritas utama dalam penyaluran bantuan.
Permintaan Peningkatan Keselamatan dari GHF
Pada Rabu (4/6/2025), tidak ada bantuan yang berhasil didistribusikan oleh GHF. Lembaga tersebut menyatakan masih menunggu peningkatan jaminan keselamatan dari militer Israel setelah insiden mematikan sehari sebelumnya.
GHF mendesak tentara Israel agar mengatur lalu lintas pejalan kaki di sekitar lokasi distribusi bantuan untuk menghindari kebingungan dan potensi kekerasan. Mereka juga meminta adanya panduan sipil yang lebih jelas dan pelatihan tambahan bagi prajurit.
Situasi di lapangan dilaporkan semakin tidak terkendali. Banyak warga Gaza nekat mendekati lokasi bantuan meskipun menghadapi risiko tinggi akibat kehadiran militer dan ketegangan bersenjata di area tersebut.
Kegagalan distribusi bantuan selama beberapa hari terakhir memperparah kondisi warga sipil. Laporan dari badan-badan kemanusiaan menunjukkan banyak warga menderita kelaparan akut dan tidak memiliki akses ke layanan kesehatan dasar.
Sementara itu, kelompok-kelompok kemanusiaan mendesak PBB agar mencari alternatif jalur distribusi yang lebih netral dan tidak melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam konflik bersenjata.
Dampak Veto terhadap Diplomasi dan Keamanan Regional
Veto dari AS tidak hanya menghentikan resolusi, tetapi juga menimbulkan ketegangan diplomatik di antara negara-negara anggota PBB. Banyak pihak menilai bahwa langkah tersebut menunjukkan kegagalan sistem internasional dalam melindungi warga sipil di zona konflik.
Diplomat dari beberapa negara mendesak adanya pembicaraan lanjutan di Majelis Umum PBB, di mana veto Dewan Keamanan tidak berlaku. Mereka berharap suara mayoritas negara anggota bisa mendorong tindakan nyata terhadap krisis kemanusiaan di Gaza.
Beberapa pengamat juga mencermati bahwa dukungan militer AS terhadap Israel berpotensi memperpanjang konflik dan melemahkan posisi Washington sebagai mediator yang netral.
Selain itu, kekhawatiran meningkat bahwa veto ini akan digunakan sebagai preseden untuk memblokir resolusi serupa di masa depan, terlepas dari situasi kemanusiaan yang mendesak.
Konflik di Gaza telah memicu unjuk rasa di berbagai belahan dunia, menuntut penghentian kekerasan dan perlindungan bagi warga sipil Palestina yang terjebak di tengah perang.
Pemerintah Amerika Serikat perlu mengevaluasi kembali pendekatannya terhadap konflik Israel-Palestina, terutama dalam kaitannya dengan posisi di Dewan Keamanan PBB. Dukungan tanpa syarat terhadap salah satu pihak yang terlibat secara langsung dapat merusak kredibilitas diplomatiknya di mata komunitas internasional.
Sebagai mitra strategis Israel, AS tetap memiliki peran kunci dalam memengaruhi keputusan militer dan kebijakan domestik negara tersebut. Mendorong langkah-langkah menuju perundingan damai serta memberikan tekanan agar akses bantuan dibuka luas, dapat menjadi langkah positif.
PBB dan negara-negara anggota harus mempertimbangkan cara alternatif untuk membantu warga Gaza di luar jalur formal Dewan Keamanan, guna menghindari kebuntuan politik yang merugikan rakyat sipil.
Lembaga bantuan internasional juga sebaiknya tidak terjebak dalam sistem distribusi yang berpihak. Kebutuhan mendesak di lapangan menuntut netralitas dan kecepatan, bukan strategi logistik yang berbelit.
Semua pihak diharapkan mengedepankan prinsip kemanusiaan di atas kepentingan politik. Menghentikan penderitaan warga sipil harus menjadi prioritas global bersama dalam menghadapi konflik yang semakin tak terkendali ini. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v