Kolombo, SRI LANKA – EKOIN.CO –
Empat negara di dunia kini tengah berada dalam pusaran krisis ekonomi akibat terjerat utang besar dari China. Negara-negara ini, yang sebagian besar berasal dari kawasan Asia dan Afrika, menghadapi tekanan fiskal hebat hingga akhirnya harus menyerahkan aset-aset strategis mereka kepada Beijing sebagai bentuk pembayaran utang. Krisis ini menjadi sorotan global karena dampaknya yang berkelanjutan terhadap kedaulatan ekonomi dan politik negara-negara tersebut.
Fenomena ini dikenal sebagai bagian dari “diplomasi utang” China, yakni strategi pembiayaan infrastruktur melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) yang telah mengikat puluhan negara berkembang. Namun, tidak semua negara penerima pinjaman mampu membayar kembali. Hal ini menimbulkan ketergantungan finansial dan pada kasus ekstrim, penyerahan kendali atas infrastruktur utama kepada pihak Tiongkok.
Sebagaimana dikutip dari berbagai sumber termasuk South China Morning Post dan Nikkei Asia, empat negara berikut tercatat sebagai yang paling terdampak: Sri Lanka, Pakistan, Zambia, dan Laos. Masing-masing memiliki cerita unik tentang bagaimana utang yang awalnya dimaksudkan untuk pembangunan berubah menjadi beban yang menggerogoti kedaulatan mereka.
Transisi menuju krisis ini terjadi secara bertahap. Pada awalnya, tawaran pinjaman dari China sangat menarik karena bunga rendah dan proses pencairan yang cepat. Namun, proyek-proyek yang dibiayai tersebut seringkali tidak memberikan hasil ekonomi yang cukup untuk membayar cicilan utang. Negara-negara ini kemudian terjebak dalam siklus pinjaman baru untuk membayar utang lama.
Krisis ini menjadi lebih mendalam ketika pembayaran tidak dapat dilunasi. Dalam beberapa kasus, aset penting negara seperti pelabuhan, pembangkit listrik, hingga jalur kereta api diambil alih oleh perusahaan-perusahaan milik negara China dalam jangka waktu panjang.
Sri Lanka: Serahkan Pelabuhan Hambantota
Sri Lanka merupakan contoh paling nyata dari konsekuensi diplomasi utang China. Negara pulau di Samudra Hindia ini meminjam lebih dari US$1 miliar dari China untuk membangun Pelabuhan Hambantota pada tahun 2008. Namun proyek ini tidak mendatangkan pemasukan seperti yang diharapkan.
Pemerintah Sri Lanka kesulitan membayar cicilan. Pada 2017, Kolombo akhirnya menyetujui kesepakatan untuk menyerahkan kendali pelabuhan tersebut kepada China Merchants Port Holdings selama 99 tahun. Keputusan ini memicu kecaman dari dalam dan luar negeri.
Banyak pihak mengkhawatirkan dampak geopolitik dari penyerahan aset vital ini, mengingat lokasi Hambantota yang strategis di jalur pelayaran internasional. Para analis melihat hal ini sebagai titik balik yang menunjukkan bagaimana pinjaman China bisa berdampak pada kedaulatan nasional.
“Saya merasa negara kami telah kehilangan sebagian kedaulatan,” kata Arjuna Ranatunga, mantan menteri pelabuhan Sri Lanka, dalam sebuah wawancara dengan Reuters. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil pinjaman luar negeri.
Krisis ekonomi di Sri Lanka berlanjut hingga kini, diperparah dengan kelangkaan devisa, inflasi tinggi, dan tekanan sosial yang meningkat.
Pakistan: Pembengkakan Proyek Koridor Ekonomi
Pakistan menjadi negara berikutnya yang terjebak dalam utang besar dari China, terutama melalui proyek China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) yang merupakan bagian dari BRI. Total nilai proyek mencapai US$62 miliar, menjadikannya salah satu investasi asing terbesar dalam sejarah Pakistan.
Namun, sebagian besar pembiayaan proyek ini berasal dari pinjaman. Saat Pakistan mengalami krisis ekonomi dan kekurangan cadangan devisa, pembayaran utang kepada China menjadi beban tambahan. Pemerintah Pakistan kemudian harus memohon restrukturisasi utang kepada mitra-mitra internasional.
Menurut data dari Pakistan Ministry of Economic Affairs, utang bilateral terbesar Pakistan saat ini berasal dari China. Dalam beberapa tahun terakhir, Islamabad telah menerima pinjaman baru hanya untuk membayar bunga utang lama.
Pemerintah Pakistan berulang kali menekankan bahwa proyek-proyek CPEC adalah “game-changer” bagi ekonomi nasional. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya, karena banyak proyek yang belum rampung atau tidak berjalan sesuai rencana.
“Jika kita tidak bisa membayar, kita akan kehilangan kendali atas proyek-proyek ini,” ungkap seorang pejabat senior kementerian keuangan Pakistan kepada Nikkei Asia, meminta identitasnya dirahasiakan.
Kekhawatiran atas transparansi dan efektivitas proyek-proyek CPEC juga menjadi sorotan utama masyarakat sipil Pakistan.
Zambia: Krisis Utang dan Dampaknya pada Energi
Zambia, negara di kawasan Afrika bagian selatan, juga termasuk dalam daftar negara yang terdampak berat oleh pinjaman China. Menurut laporan dari World Bank, Zambia memiliki total utang luar negeri lebih dari US$17 miliar, dengan sekitar US$6 miliar berasal dari kreditur China.
Kondisi ekonomi Zambia memburuk sejak 2020, hingga pemerintah menyatakan gagal bayar (default) terhadap sejumlah kewajiban utang luar negeri. Proyek infrastruktur yang dibiayai China di negara ini termasuk jalan raya, pembangkit listrik, dan jaringan kereta api.
Salah satu proyek terbesar adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga air Kafue Gorge Lower yang dibiayai oleh China Exim Bank. Namun, proyek ini dikritik karena overbudget dan keterlambatan penyelesaian.
Pemerintah Zambia kini berada di bawah tekanan IMF dan G20 untuk merestrukturisasi utang mereka, termasuk yang berasal dari China. Namun proses negosiasi berjalan lambat karena China bersikukuh pada mekanisme bilateral.
“Masalah kami adalah transparansi dan kesetaraan dalam pinjaman-pinjaman ini,” ujar Profesor Oliver Saasa, ekonom senior Zambia, dalam wawancara dengan BBC Africa. Ia menyatakan bahwa Zambia tidak memiliki kapasitas fiskal untuk memenuhi komitmen pembayarannya.
Zambia menjadi negara pertama di Afrika yang mengalami gagal bayar sejak pandemi COVID-19, dan kondisi ini masih terus berlangsung.
Laos: Ketergantungan Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Negara kecil di Asia Tenggara ini mengalami krisis ekonomi senyap namun serius. Laos memiliki rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 70 persen, sebagian besar berasal dari proyek infrastruktur yang dibiayai China, termasuk proyek kereta cepat China-Laos yang menelan biaya sekitar US$6 miliar.
Proyek ini telah meningkatkan konektivitas regional, namun Laos menghadapi kesulitan membayar utang dan biaya operasionalnya. Pemerintah akhirnya menyerahkan saham mayoritas dari perusahaan operator kereta api kepada China, menurut laporan dari Vientiane Times.
Laos juga memberikan hak pengelolaan terhadap jaringan listrik nasionalnya kepada perusahaan China Southern Power Grid, sebagai bagian dari restrukturisasi utang energi.
“Jika tren ini berlanjut, kita akan kehilangan kendali atas sumber daya utama negara,” kata seorang pejabat anonim dari Kementerian Energi Laos, dikutip oleh Reuters. Ia mengungkapkan kekhawatiran terhadap ketergantungan jangka panjang pada China.
Masyarakat Laos kini menghadapi inflasi tinggi dan depresiasi mata uang kip, yang berdampak langsung pada harga kebutuhan pokok. Pemerintah Laos terus melakukan negosiasi dengan China untuk penjadwalan ulang utang.
Kesimpulan dan Saran
Dari kasus Sri Lanka hingga Laos, terlihat bahwa diplomasi utang China telah memicu ketergantungan ekonomi yang signifikan. Meskipun pembangunan infrastruktur merupakan kebutuhan penting bagi negara berkembang, ketidakseimbangan dalam pengelolaan utang dapat mengancam kedaulatan nasional dan kelangsungan ekonomi.
Pemerintah negara-negara berkembang disarankan untuk lebih selektif dan transparan dalam mengambil pinjaman luar negeri. Evaluasi menyeluruh terhadap kelayakan proyek dan rencana pembayaran yang realistis sangat diperlukan. Mekanisme pengawasan internal dan kerja sama multilateral juga bisa menjadi alternatif untuk menjaga akuntabilitas.
China sebagai pemberi pinjaman utama juga memiliki tanggung jawab untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan tidak menjerat negara mitra dalam jebakan utang. Langkah seperti restrukturisasi atau penghapusan sebagian utang dapat menjadi solusi jangka panjang yang lebih adil.
Masyarakat internasional, termasuk lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia, dapat berperan dalam membangun tata kelola pinjaman yang lebih adil dan transparan. Negara peminjam juga harus diberdayakan dengan dukungan teknis agar mampu mengelola proyek dan pembiayaan secara mandiri.
Dalam jangka panjang, ketahanan fiskal harus dibangun dari dalam, termasuk melalui peningkatan pendapatan negara, reformasi pajak, dan investasi pada sektor produktif. Hanya dengan cara ini, negara-negara berkembang dapat keluar dari lingkaran utang yang mengancam masa depan mereka.(*)
Berlangganan gratis WANEWS EKOIN lewat saluran WhatsUp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v