Tel Aviv, EKOIN.CO— Israel menghadapi isolasi global dan ketegangan domestik yang meningkat akibat serangan militer yang terus berlanjut ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Sejumlah negara yang sebelumnya mendukung Israel kini menarik dukungan mereka, menyusul meningkatnya jumlah korban sipil Palestina.
Jerman telah mengancam akan membatalkan bantuan militer, sementara Prancis aktif mendorong negara-negara Eropa lain untuk mengakui kemerdekaan Palestina.
Amerika Serikat, meskipun sekutu utama Israel, dalam sejumlah kebijakan terbaru di Timur Tengah tidak lagi melibatkan negara itu.
Di dalam negeri, masyarakat Israel mulai terpecah antara pendukung perang dan gerakan yang menuntut perdamaian.
Ketegangan Internal Semakin Membesar
Dalam beberapa minggu terakhir, organisasi antiperang dan kelompok pro-perdamaian di Israel menguatkan penolakan terhadap operasi militer di Gaza.
Sebaliknya, kelompok pro-perang justru menggandakan tekanan agar konflik dilanjutkan, dengan mengabaikan dampak diplomatik dan kemanusiaan.
Sebagian anggota militer Israel juga mulai menyuarakan kritik terhadap kebijakan perang tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh Al Jazeera.
Beberapa perwira aktif dan pensiunan mengeluarkan surat terbuka yang mengkritisi motif politik di balik serangan terhadap Gaza.
Mereka memperingatkan bahwa penghancuran sistematis wilayah Gaza dapat membahayakan nyawa sandera Israel yang masih ditahan Hamas.
Akademisi dan Mahasiswa Turut Bersuara
Kalangan akademisi di universitas Israel mulai menyampaikan solidaritas terhadap warga Palestina secara terbuka.
Langkah ini dianggap langka, mengingat sebelumnya kritik terhadap pemerintah kerap dihindari sejak pecahnya perang.
Kampanye anti-wajib militer semakin berkembang, khususnya di kalangan pemuda Israel yang merasa frustrasi terhadap kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Gerakan ini menjadi ancaman langsung terhadap keberlangsungan militer Israel yang sangat bergantung pada generasi muda.
Sejumlah pengamat menyebut meningkatnya penolakan ini bisa mengganggu upaya perang dalam jangka panjang.
Kritik Terbuka dari Mantan Pilot
Pada April lalu, lebih dari seribu pilot dan mantan pilot menerbitkan surat terbuka yang mengecam tindakan militer Israel.
Mereka menuduh Netanyahu mementingkan tujuan politik pribadi ketimbang keamanan nasional.
Surat tersebut disusul oleh pernyataan dari kelompok profesional lainnya, termasuk akademisi dan mantan pejabat pertahanan.
Dalam dokumen tersebut, mereka mendesak pemerintah agar menghentikan perang dan memprioritaskan pembebasan sandera.
Surat-surat terbuka ini turut mendorong masyarakat sipil untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah.
Pemerintah Terus Bertahan
Meski tekanan semakin besar, Netanyahu tetap mempertahankan arah kebijakan perang terhadap Gaza.
Ia disebut-sebut bergantung pada faksi-faksi kanan ekstrem untuk mempertahankan kekuatan koalisinya.
Oposisi politik, menurut para pengamat, gagal menunjukkan perlawanan berarti terhadap kebijakan perang.
Beberapa tokoh oposisi bahkan memilih bungkam meskipun tuduhan internasional mengenai genosida terus menguat.
Situasi ini mempertegas lemahnya dinamika demokrasi dalam menghadapi krisis perang yang berlarut-larut.
Dunia Internasional Mulai Menjauh
Dukungan internasional terhadap Israel mulai mengendur, terutama setelah meningkatnya jumlah korban sipil.
Negara-negara seperti Irlandia, Spanyol, dan Norwegia secara resmi telah mengakui Palestina sebagai negara.
Langkah tersebut menjadi simbol pergeseran sikap Eropa terhadap konflik di Timur Tengah.
Beberapa parlemen negara Eropa juga telah menggelar sidang darurat membahas embargo senjata ke Israel.
Kritik terhadap penggunaan kekuatan berlebihan menjadi sorotan utama dalam pertemuan-pertemuan internasional tersebut.
Boikot dan Tekanan Ekonomi Menguat
Berbagai organisasi masyarakat sipil menyerukan boikot terhadap produk-produk Israel di pasar global.
Gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) mengalami peningkatan dukungan dalam beberapa bulan terakhir.
Sektor perdagangan, teknologi, hingga pariwisata Israel turut merasakan dampak dari tekanan global tersebut.
Beberapa perusahaan multinasional dilaporkan membatalkan kontrak kerja sama dengan entitas bisnis Israel.
Tekanan ini diyakini akan terus meningkat jika perang di Gaza tidak segera dihentikan.
Perpecahan Politik di Knesset
Ketegangan juga mulai terasa di dalam parlemen Israel, Knesset, terutama antara kubu oposisi dan pemerintah.
Beberapa anggota parlemen mempertanyakan transparansi kebijakan militer serta nasib para sandera.
Ketua Komite Pertahanan dan Luar Negeri bahkan mengusulkan pembentukan komisi independen penyelidikan perang.
Namun usulan itu belum mendapatkan dukungan mayoritas dari anggota koalisi pemerintah.
Hal ini memperlihatkan minimnya ruang kompromi politik di tengah krisis kemanusiaan yang terjadi.
Gerakan Sipil Mendapat Sorotan
Demonstrasi massal digelar rutin di beberapa kota besar seperti Tel Aviv, Haifa, dan Yerusalem.
Peserta aksi terdiri dari keluarga sandera, mahasiswa, mantan tentara, dan aktivis HAM.
Mereka menuntut penghentian operasi militer serta dimulainya negosiasi diplomatik dengan Hamas.
Dalam berbagai kesempatan, demonstran juga menyerukan pemilu ulang untuk mengganti kepemimpinan Netanyahu.
Aksi-aksi ini semakin intensif dan melibatkan jaringan lintas agama dan komunitas.
Media Internasional Menyoroti Konflik Internal
Media asing seperti BBC, The Guardian, dan CNN menyoroti gejolak politik dan sosial di Israel.
Isu pengucilan diplomatik dan boikot ekonomi menjadi tajuk utama dalam sejumlah laporan mendalam.
Laporan tersebut juga menampilkan perspektif warga sipil yang terdampak secara langsung oleh perang.
Media internasional menggarisbawahi ketidakefektifan strategi militer Israel yang tidak kunjung membawa hasil konkret.
Sementara itu, krisis kemanusiaan di Gaza terus memburuk tanpa adanya solusi jangka pendek.
Netizen Dunia Ramai-ramai Mengkritik
Platform media sosial seperti X, Instagram, dan TikTok dipenuhi kampanye solidaritas untuk rakyat Palestina.
Unggahan video dan foto dari Gaza memperkuat narasi pelanggaran HAM oleh Israel di mata publik global.
Hashtag seperti #FreePalestine dan #CeasefireNow menjadi tren global dalam beberapa pekan terakhir.
Artis dan tokoh publik internasional juga menyatakan sikap menolak agresi militer Israel secara terbuka.
Fenomena ini mencerminkan perubahan opini publik dunia terhadap konflik Israel-Palestina.
Krisis yang terus berlarut di Gaza telah mendorong Israel ke ambang pengucilan internasional dan menciptakan perpecahan sosial dalam negeri yang signifikan.
Situasi ini memperlihatkan bahwa pendekatan militer tidak lagi mendapat dukungan luas, baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional.
Untuk keluar dari krisis ini, Israel perlu mempertimbangkan jalan diplomatik dan membuka ruang negosiasi dengan semua pihak terkait.
Konsolidasi politik dalam negeri menjadi kunci agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Tanpa perubahan strategi dan kepemimpinan, Israel akan semakin terisolasi dan mengalami kerugian jangka panjang.
Apakah Kritik Menandakan Empati pada Palestina?
Meski kritik terhadap strategi perang meningkat, hal ini tidak berarti warga Israel berempati pada warga Palestina.
Sebuah survei terbaru menunjukkan 82 persen warga Yahudi Israel mendukung pengusiran warga Gaza secara paksa.
Lebih dari setengahnya bahkan menyetujui gagasan yang digambarkan sebagai “pembunuhan massal” terhadap warga sipil Palestina.
Sentimen kekerasan ini muncul dalam pawai yang dipimpin Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir di Yerusalem Timur.
Para peserta meneriakkan slogan kekerasan dan menyerang orang-orang yang diidentifikasi sebagai simpatisan Palestina.
Retorika Ekstrem Kian Nyata
Dalam pawai tersebut, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menyerukan kemenangan dan pendudukan total terhadap wilayah Palestina.
Smotrich telah lama dikenal sebagai pendukung aneksasi Tepi Barat dan pengusiran warga Gaza secara paksa.
Seruan tersebut disambut sorak-sorai dari ribuan peserta yang hadir dalam pawai di Kota Tua Yerusalem.
Menurut mantan diplomat Israel, Alon Pinkas, kelompok ekstrem kanan merasa dibenarkan oleh situasi perang yang berlarut.
Mereka menganggap bahwa setiap keraguan terhadap perang sama artinya dengan bentuk kekalahan.
Ketakutan Akan Isolasi Global
Kekhawatiran terhadap isolasi internasional juga disuarakan oleh oposisi dalam negeri Israel.
Yair Golan, pemimpin Partai Demokrat sayap kiri, memberikan peringatan keras atas tindakan pemerintah saat ini.
Dalam wawancara dengan KAN, ia menyebut Israel berada di jalur menuju status paria internasional.
Ia membandingkan posisi Israel dengan Afrika Selatan di era apartheid jika tidak kembali ke jalur rasional.
Menurutnya, bangsa yang rasional tidak memindahkan populasi, membunuh anak-anak, atau berperang melawan warga sipil.
Pemerintahan yang Kehilangan Moral
Golan menyebut pemerintahan saat ini dipenuhi individu pendendam yang tidak memiliki kompetensi moral.
Ia menegaskan bahwa tindakan mereka telah membahayakan masa depan Israel sebagai negara demokratis.
Kritik serupa datang dari Ofer Cassif, anggota parlemen anti-Zionis yang terus menghadapi ancaman atas sikapnya.
Cassif menilai bahwa baik pemerintah maupun oposisi gagal memprioritaskan pembebasan sandera.
Ia menyebut mereka justru mengejar agenda radikal yang digaungkan oleh tokoh seperti Smotrich.
Minimnya Oposisi Substantif
Ayelet Ben-Yishai, profesor Universitas Haifa dan penandatangan surat antiperang, menyoroti lemahnya perlawanan politik.
Ia menyayangkan bahwa masyarakat Israel terjebak dalam dilema antara perang berkelanjutan atau tunduk pada visi sayap kanan.
Menurutnya, tidak ada pilihan moderat yang bisa mengimbangi kekuatan blok ekstrem di pemerintahan.
Kondisi ini membuat sebagian warga merasa tidak memiliki representasi politik yang benar-benar mencerminkan suara mereka.
Ketiadaan oposisi substantif juga menghambat munculnya solusi politik terhadap konflik berkepanjangan.
Operasi Militer Terus Meluas
Sementara itu, Israel terus meningkatkan aksi militer di Gaza sejak pelanggaran gencatan senjata pada Maret lalu.
Hampir 4.000 warga Palestina, termasuk ratusan anak-anak, tewas dalam periode tersebut, menurut badan internasional.
Pengepungan yang diberlakukan membuat penduduk Gaza berada di ambang kelaparan akut.
Operasi militer juga meluas ke wilayah Tepi Barat dengan dampak yang tidak kalah menghancurkan.
Puluhan ribu warga kehilangan tempat tinggal akibat penghancuran wilayah yang dilakukan oleh tentara Israel.
Ekspansi Permukiman Dikecam
Menteri Pertahanan Israel, Katz, dan Smotrich mengumumkan rencana pembangunan 22 permukiman baru di Tepi Barat.
Rencana ini ditentang oleh hukum internasional dan memicu kecaman dari berbagai organisasi HAM.
Smotrich bahkan secara terbuka menyerukan pencaplokan penuh wilayah Tepi Barat.
Ia juga mendukung penghancuran total Gaza dan pengusiran penduduknya sebagai solusi permanen.
Retorika ini memperkuat posisi ekstrem yang kini semakin dominan dalam struktur kekuasaan Israel.
Perubahan Butuh Pengorbanan Nyata
Yehouda Shenhav-Shahrabani, dosen Universitas Tel Aviv, memberikan perspektif kritis terhadap situasi ini.
Ia mengingatkan nasihat seorang hakim Mahkamah Agung Afrika Selatan mengenai pentingnya pengorbanan.
Menurutnya, perubahan sejati bagi rakyat Palestina hanya akan terjadi jika warga Israel bersedia berkorban.
Namun, untuk saat ini, ia menyatakan bahwa saat tersebut belum tiba bagi masyarakat Israel.
Hal ini mencerminkan bahwa kesadaran kolektif masih jauh dari perubahan yang dibutuhkan untuk perdamaian.
Dalam menghadapi krisis yang semakin dalam, Israel memerlukan pendekatan yang tidak lagi bergantung pada kekuatan militer semata. Jalan keluar dari isolasi dan perpecahan harus dimulai dari keberanian untuk merevisi strategi nasional.
Dialog internal yang lebih inklusif perlu dibuka untuk menghadirkan perspektif dari semua lapisan masyarakat, termasuk suara-suara yang selama ini dibungkam oleh retorika ekstrem. Pemerintah sebaiknya menahan diri dari memperluas konflik dan fokus pada solusi diplomatik.
Komunitas internasional dapat mendorong perubahan dengan memperkuat tekanan ekonomi dan diplomatik, namun yang paling penting adalah perubahan dari dalam Israel sendiri. Tanpa refleksi moral dan evaluasi kepemimpinan, Israel akan semakin kehilangan kepercayaan global.
Gerakan sipil dan suara akademik harus terus diberi ruang, karena mereka menjadi salah satu harapan bagi munculnya arah kebijakan baru yang lebih beradab. Keberanian untuk menolak narasi kekerasan adalah awal dari rekonsiliasi.
Masa depan kawasan ini sangat bergantung pada apakah Israel bersedia untuk mengutamakan kemanusiaan daripada ambisi kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa kekuatan militer tak pernah menyelesaikan konflik yang berakar dari ketidakadilan. (*)
Berlangganan gratis WANEWS EKOIN lewat saluran WhatsUp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v