Jakarta, EKOIN.CO – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi impor gula dengan agenda pemeriksaan saksi mahkota serta mendengarkan keterangan terdakwa pada Jumat (10/10/2025). Dalam sidang tersebut, kuasa hukum terdakwa menilai bahwa perkara ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena keputusan yang diambil kliennya merupakan bagian dari kebijakan resmi pemerintah.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Saksi Mahkota Ungkap Kondisi Industri Gula
Dalam persidangan, kuasa hukum terdakwa Agus menjelaskan bahwa keputusan terkait impor gula yang dilakukan kliennya kala itu dilatarbelakangi oleh kebutuhan industri nasional. Menurutnya, pasokan GKR (Gula Kristal Rafinasi) di dalam negeri sangat terbatas dan hanya bergantung pada beberapa pabrik. Kondisi ini berpotensi melumpuhkan rantai pasokan bahan baku industri jika tidak segera diatasi.
BACA JUGA: Antoni Budiawan Jelaskan Alasan Impor di Sidang Korupsi Impor Gula
“Kalau pabrik ditutup, industri susu dan roti juga akan lumpuh karena pasokan GKR hanya bergantung pada beberapa pabrik dalam negeri. Jadi keputusan Pak Hans saat itu justru untuk menyelamatkan industri,” ujarnya dalam ruang sidang Tipikor.
Agus juga menyebutkan bahwa importasi gula dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman yang sangat tinggi, sementara produksi dalam negeri belum mencukupi. Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, melainkan demi keberlangsungan sektor industri nasional.
Selain itu, Agus menyoroti aspek perhitungan kerugian negara yang menjadi dasar dakwaan jaksa. Menurutnya, nilai kerugian tersebut bersifat asumtif dan tidak memiliki dasar harga yang pasti. Hal ini membuat dakwaan terhadap kliennya patut dipertanyakan.
Nilai Kerugian Negara Dipersoalkan
“Kerugian negara yang disebutkan hanya berdasarkan asumsi harga Rp8.900 per kilogram, padahal itu merujuk pada penugasan tahun 2015. Tidak ada dasar hukum bahwa harga tersebut harus dipakai untuk tahun berjalan dan PPI-nya sendiri menyatakan tidak rugi, malah untung. Jadi kalau disebut negara rugi, itu sangat bisa diperdebatkan,” tegas Agus.
Menurut Agus, dalam perkara ini pihak jaksa menggunakan harga acuan yang tidak relevan dengan kondisi pasar saat impor dilakukan. Ia menilai hal tersebut sebagai kelemahan mendasar dalam pembuktian kerugian negara. Bahkan, lanjutnya, pihak perusahaan pelat merah yang ditugaskan dalam kegiatan impor gula tersebut justru melaporkan adanya keuntungan, bukan kerugian.
Pihak kuasa hukum juga menyampaikan bahwa dasar hukum yang dipakai untuk menyimpulkan adanya kerugian negara sangat lemah. Ia menilai perhitungan tersebut tidak memperhitungkan dinamika pasar serta perubahan harga global yang terjadi pada tahun berjalan. Karena itu, perhitungan yang digunakan jaksa tidak dapat dijadikan dasar pidana.
Selain mempermasalahkan nilai kerugian negara, Agus juga menilai bahwa perkara ini menyangkut keputusan strategis pemerintah yang tidak seharusnya dibebankan kepada pelaksana teknis. Menurutnya, kebijakan impor gula saat itu dikeluarkan oleh pejabat tinggi negara, sehingga pelaksana tidak dapat dipidana atas dasar pelaksanaan tugas resmi.
“Klien kami ada di posisi ini karena adanya penugasan dari Pak Tom Lembong kepada PPI. Kalau Pak Tom Lembong yang memberi izin dinyatakan bebas dan dihapuskan perbuatannya, maka seharusnya pihak yang menjalankan juga tidak bisa dipidana,” ujar Agus.
Ia menambahkan bahwa dalam logika hukum maupun praktik administrasi negara, tanggung jawab atas kebijakan publik tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada pelaksana di lapangan. Oleh sebab itu, tim kuasa hukum meminta majelis hakim untuk menilai ulang dasar dakwaan dan pembuktian dalam perkara ini.
Dakwaan Jaksa Dinilai Lemah
Sidang kali ini juga menghadirkan saksi mahkota yang memberikan keterangan terkait mekanisme pengambilan keputusan impor gula. Saksi menjelaskan bahwa setiap keputusan terkait volume impor dan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh pemerintah pusat, bukan oleh pelaksana di lapangan. Keterangan ini memperkuat argumen kuasa hukum terdakwa bahwa peran kliennya sebatas pelaksana.
Menurut penjelasan saksi, setiap tahapan impor gula melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga negara. Pelaksana hanya bertugas menjalankan keputusan tersebut sesuai dengan surat penugasan resmi yang diterbitkan oleh pemerintah. Dengan demikian, proses ini bukan tindakan inisiatif pribadi yang dapat dipidana.
Agus menegaskan kembali bahwa importasi gula dilakukan berdasarkan kebijakan strategis yang dikeluarkan Menteri Perdagangan saat itu, Tom Lembong. Karena itu, jika pemberi izin dinyatakan bebas dan tidak bertanggung jawab atas dugaan kerugian negara, maka pihak pelaksana juga seharusnya tidak dijerat pidana.
Pihak kuasa hukum juga mengajukan bukti bahwa dalam pelaksanaan impor gula tersebut, semua tahapan telah memenuhi prosedur hukum dan administratif yang berlaku. Hal ini termasuk penunjukan perusahaan pelaksana, proses tender, hingga pengawasan oleh lembaga terkait. Tidak ada pelanggaran hukum dalam proses tersebut.