Jakarta, EKOIN.CO — Industri alat kesehatan (alkes) nasional mencatat tonggak penting dalam kinerja ekspor. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa sepanjang 2024, nilai ekspor alkes Indonesia berhasil mencapai 273 juta dolar AS atau setara Rp4,6 triliun. Informasi tersebut disampaikan dalam peluncuran dua produk ultrasonografi (USG) oleh GE Healthcare di Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Peluncuran produk baru tersebut menjadi sorotan karena teknologi pencitraan yang digunakan telah terintegrasi dengan kecerdasan buatan (AI), mendukung efisiensi kerja dan meningkatkan akurasi diagnosis medis. Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kemenperin, Solehan, mengatakan bahwa pencapaian ini menandai kesiapan industri alkes nasional untuk naik kelas.
“Teknologi ini bukan hanya soal bisnis, tetapi tentang bagaimana Indonesia menjawab kebutuhan kesehatan rakyatnya sendiri,” ujar Solehan di hadapan para peserta acara.
Dalam penjelasannya, Solehan memaparkan data dari Sistem Industri Nasional (SINAS) yang mencatat sebanyak 393 perusahaan alkes telah terdaftar dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Sementara itu, jumlah sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang masih berlaku mencapai 2.505 sertifikat, dengan nilai kandungan lokal berkisar antara 16,45 persen hingga 92,22 persen.
“Antara lain produk tempat tidur rumah sakit, hospital bed, bapak ibu sekalian. Alat suntik, syringe, tensimeter, elektromedis, ventilator, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Transisi dari produk impor ke produk lokal turut diperkuat melalui peningkatan transaksi alkes dalam negeri pada e-katalog nasional sebesar 48 persen pada tahun yang sama. Menurut Solehan, capaian ini membuka peluang lebih besar bagi investor asing untuk menanamkan modalnya dalam sektor alkes di Indonesia.
Sejalan dengan hal tersebut, Solehan menekankan pentingnya membangun ekosistem industri alkes dalam negeri yang kuat. Ia menjabarkan beberapa langkah konkret yang telah dilakukan, termasuk penguatan bahan baku lokal, kerja sama lintas kementerian, serta kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga riset.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Lucia Rizka Andalusia, menyampaikan dukungannya terhadap pengembangan teknologi berbasis AI dalam alat kesehatan. Menurutnya, kualitas dan akurasi produk perlu dijamin melalui proses asesmen teknologi kesehatan (HTA) agar manfaatnya bisa dirasakan luas oleh masyarakat.
“Sekarang kita ini berlomba-lomba mencari, berupaya mencari metode-metode skrining, metode diagnostik yang paling efektif, cost effective, karena sumber daya kita ya segitu-gitunya,” jelas Rizka. “Masyarakat kita bertambah terus, kita ingin masyarakat kita dengan anggaran yang tidak perlu ditambah tapi dia mendapatkan benefit yang lebih luas.”
Ia menutup pernyataannya dengan ajakan untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri. Tujuannya adalah agar inovasi alkes tidak hanya menjangkau pasar ekspor, tetapi juga menjawab kebutuhan domestik secara berkelanjutan. (*)