Jakarta, ekoin.co – Pimpinan Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng menilai kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah wilayah di Indonesia dipicu tingginya belanja pegawai dalam postur anggaran pemerintah.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih mengutamakan pembangunan dan pelayanan publik dalam menyusun rencana anggaran.
“Kalau bahasa sederhananya lebih banyak untuk ‘ongkos tukangnya’ (yakni) untuk belanja para pegawainya, belanja dari aparaturnya, para pimpinan eksekutif dan legislatifnya, lalu belanja operasional,” ujar Robert saat berbincang dengan Eddy Wijaya dalam podcast EdShareOn yang tayang pada Rabu, 3 September 2025.
“Mungkin antara lain inilah jadi penyebab masyarakat lalu protes. Bayar pajak, kok, nggak kelihatan hasilnya, bayar pajak jalannya masih rusak, pendidikan belum berkualitas, kesehatan belum terurus,” katanya menambahkan.
Menurut Robert, sebanyak 60 hingga 70 persen anggaran habis hanya untuk biaya pegawai. Sementara anggaran pembangunan dan pelayanan publik sisanya yang relatif mungil.
“Skema penganggaran harusnya benefit tax lien, jadi ada kaitan antara pajak yang dipungut di masyarakat dengan manfaat yang diperoleh masyarakat itu pula. Manfaat yang diperoleh masyarakat itu paling tidak ada dua, pembangunan daerah dan pelayanan publik,” katanya.
Diketahui, gelombang demonstrasi terjadi serentak di banyak daerah akibat kenaikan drastis PBB-P2 pada 2025. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, misalnya, kenaikan pajaknya mencapai 250 persen hingga berujung upaya pemakzulan Bupati Pati Sadewo.
Aksi protes yang berujung ricuh juga terjadi di sejumlah daerah lain, seperti Cirebon, Jawa Barat, karena pajaknya naik hampir 1.000 persen, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang naik 1.202 persen, serta Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, naik 300 persen.
Publik kecewa karena kenaikan PBB-P2 dilakukan tanpa diawali dialog dan abai terhadap kondisi masyarakat yang tengah kesulitan ekonominya.
Robert menjelaskan, letak persoalan dari penolakan tersebut bermula dari pemerintah daerah yang mengambil kebijakan sendiri dalam menaikkan pajaknya. Padahal sejatinya pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan dan mensosialisasikannya sebelum diterapkan.
“Yang disebut partisipasi bermakna, meaningful participation itu, rakyat diajak, rakyat didengarkan, lalu kalau ada protes didengar nggak? Tiga ini faktor penting yang harus dilihat ketika membuat kebijakan,” kata lulusan Magister Administrasi Publik Universitas Indonesia tersebut.
Robert berharap peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan. Ia yakin publik tidak akan memprotes bila ada keseimbangan antara penarikan pajak dan juga kinerja pelayanan yang diterimanya. Begitu pula dengan pelibatan mereka dalam mengambil kebijakan.
“Jangan tahu-tahu kemudian di suatu waktu diberlakukan pajak sangat tinggi, masyarakat akan terkejut, dan masyarakat juga tidak diberikan informasi yang cukup,” ujar Robert. ()