Jakarta, EKOIN.CO – Wacana pengambilalihan paksa saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) oleh negara dinilai berisiko besar merusak sistem keuangan nasional dan meruntuhkan kepercayaan pasar. Ide ini, yang muncul dari kalangan politikus, dianggap berbahaya dan bisa menghancurkan kepercayaan pasar yang sudah dibangun dengan susah payah pasca-krisis 1998.
Ekonom sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa gagasan hostile take over terhadap BCA tidaklah rasional. Menurutnya, hal ini bisa merusak sistem perbankan nasional yang sudah bertransformasi menjadi jauh lebih tangguh. “Kondisi perbankan sebenarnya sudah bertransformasi cukup kuat. Ini merupakan kebijakan sistem keuangan dan perbankan pascareformasi,” jelas Didik dalam keterangan tertulis. Ia mengingatkan bahwa setelah krisis 1998, perbankan nasional mengalami restrukturisasi panjang hingga kini mampu menghadapi krisis lain, termasuk pandemi Covid-19.
Baca juga : BLBI: Utang Lama BCA yang Kembali Mencuat
Gagasan untuk mengambil alih BCA di saat perbankan nasional makin solid justru akan membawa dampak negatif. “Jika ini dilakukan, maka kepercayaan pasar akan runtuh,” tegas Didik. Ia menambahkan, saham BCA dipercaya publik karena dikelola dengan baik dan transparan sebagai bank publik.
Baik kinerja BCA maupun Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) seharusnya dipandang sebagai pencapaian penting dalam menopang perekonomian. Kontribusi mereka terlihat dari pertumbuhan kredit, dukungan untuk dunia usaha, hingga pembayaran pajak.
Wacana Ambil Alih dan Respons Pemerintah
Di tengah isu yang beredar, Chief Executive Officer (CEO) Danantara Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani, menepis rumor terkait akuisisi mayoritas saham BCA oleh lembaganya. Rosan, yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi, memastikan tidak ada agenda dari Danantara untuk mengambil alih kendali BCA. “Enggak ada,” ujarnya singkat usai menghadiri rapat dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 19 Agustus 2025.
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai kemungkinan adanya pembicaraan awal terkait isu tersebut, Rosan memilih bungkam dan meninggalkan wartawan. Isu pengambilalihan ini dikaitkan dengan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada krisis 1998, di mana BCA sempat menerima kucuran dana BLBI sebelum proses divestasi yang kini kembali disoroti.
Jaga Iklim Investasi dan Hindari Kegaduhan
Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Tommy Kurniawan, meminta semua pihak untuk menahan diri dari pernyataan yang memicu kegaduhan. Menurutnya, hal ini bisa memperburuk iklim investasi di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi. “Iklim investasi sedang bagus di tengah situasi global yang serba tidak pasti. Karena itu, kita wajib menjaganya dan jangan sampai ada pernyataan yang menimbulkan kegaduhan, terutama terkait sektor perbankan,” ujar Tommy.
Wacana liar ini memang berpotensi merusak kepercayaan pasar. Saham BBCA di Bursa Efek Indonesia (BEI) sendiri saat ini berada di level Rp8.450 per saham. Angka ini mencerminkan pelemahan 12,66% sejak awal tahun atau year to date serta terkoreksi 3,70% dalam sepekan terakhir. Jika isu tak berdasar ini terus bergulir, bukan tidak mungkin harganya akan terus tertekan, merugikan investor yang menaruh kepercayaan pasar pada bank ini.
Baca juga : BPI Danantara Bantah Akuisisi BCA, Respons Soal Isu BLBI Kembali Mencuat
Bank-bank yang sudah solid dan sehat, seperti BCA, perlu dijaga agar tidak menjadi korban wacana-wacana yang hanya menimbulkan ketidakpastian. Menjaga stabilitas dan kepercayaan pasar adalah kunci untuk memastikan perbankan nasional terus menjadi tulang punggung perekonomian.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v