Surabaya EKOIN.CO – Kasus penggelapan kredit dengan bantuan oknum pegawai bank BUMN menyeret MK, pengusaha batubara di Surabaya, ke ranah pidana. Utang senilai Rp 27,5 miliar menjadi sorotan utama dalam perkara yang melibatkan aset fiktif dan jaminan perusahaan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
MK awalnya mengajukan kredit modal Rp 30 miliar pada 2011 ke bank BUMN. Ia menjaminkan aset perusahaan berupa tanah, bangunan, serta piutang usaha senilai Rp 21 miliar, ditambah aset pribadinya, untuk meloloskan permohonan kredit.
Proses pengajuan terbuka dengan peran AF, pegawai bank BUMN, yang membantu membuat laporan keuangan dan analisa fiktif. Dukungan ini memungkinkan MK memperoleh persetujuan fasilitas kredit.
Sebelum kredit disetujui, MK menjalankan saran AF untuk mendirikan PT dari bentuk awal CV perusahaan, agar memenuhi syarat fasilitas pembiayaan korporasi. Dari permohonan Rp 30 miliar, disetujui Rp 27,5 miliar. Namun, dana tidak digunakan sesuai tujuan awal perdagangan batubara, melainkan untuk melunasi utang pribadi MK.
#### Dugaan Kredit Fiktif dan Gagal Bayar
“Saat jatuh tempo pembayaran, MK beberapa kali mengajukan penundaan dengan dukungan analisa fiktif dari AF. Hingga akhirnya, pada 4 Januari 2014, PT DJA dinyatakan gagal bayar,” kata Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, I Made Agus Mahendra Iswara, Selasa (19/8/2025).
Bank kemudian mengeksekusi jaminan dengan menjual aset satu per satu. Namun, hasil likuidasi tidak menutup total kredit yang diterima MK. Piutang senilai Rp 21 miliar yang dijaminkan ternyata fiktif. Sisa utang yang belum terbayar mencapai Rp 7,9 miliar.
Kini MK resmi menjadi tersangka kasus korupsi, sementara AF tercatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai pihak yang membantu proses fiktif. Dugaan keterlibatan pegawai bank menambah kompleksitas kasus kredit fiktif ini.
#### Proses Hukum dan Implikasi Bisnis
Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan internal bank BUMN dalam pemberian fasilitas kredit korporasi. Dugaan manipulasi dokumen dan laporan keuangan fiktif menjadi faktor utama gagal bayar.
Para ahli keuangan menekankan pentingnya audit independen sebelum pencairan kredit. Kasus MK menunjukkan risiko besar bagi institusi perbankan ketika prosedur due diligence diabaikan.
Selain risiko hukum bagi nasabah, bank juga menghadapi kerugian finansial signifikan. Likuidasi aset yang tidak mencukupi membuktikan dampak negatif dari piutang fiktif terhadap stabilitas keuangan lembaga.
Kejaksaan Negeri Tanjung Perak menyatakan akan melanjutkan penyidikan secara mendalam. Pihak terkait diharapkan bertanggung jawab atas penyalahgunaan fasilitas kredit.
Kasus MK dapat menjadi pembelajaran penting bagi pengusaha lain agar transparan dan mematuhi prosedur perbankan. Pencegahan manipulasi laporan keuangan menjadi kunci untuk menjaga integritas bisnis.
Pakar hukum menyarankan pemberian sanksi tegas terhadap pihak yang terlibat. Langkah ini bertujuan menimbulkan efek jera bagi pegawai bank maupun pengusaha nakal.
Selain aspek hukum, kasus ini juga berdampak pada reputasi industri batubara di Surabaya. Investor semakin waspada terhadap praktik manajemen keuangan yang tidak transparan.
Upaya pemulihan utang dan aset yang gagal dijaminkan memerlukan pendekatan hukum dan ekonomi terpadu. Koordinasi antara bank, pengacara, dan aparat penegak hukum menjadi penting.
Dalam konteks jangka panjang, penguatan tata kelola perusahaan menjadi agenda utama. Audit internal dan sistem pengawasan kredibel dapat mencegah kasus serupa muncul di masa depan.
Kasus ini juga menjadi perhatian masyarakat Surabaya terkait akuntabilitas pejabat bank dan pengusaha. Transparansi prosedur kredit diharapkan lebih ketat.
Kesimpulan: Kasus MK menegaskan pentingnya integritas dalam bisnis dan perbankan. Penggunaan piutang fiktif dan jaminan tidak sesuai tujuan menciptakan risiko hukum dan finansial besar. Pemantauan internal bank perlu ditingkatkan untuk mencegah penyalahgunaan fasilitas kredit.
- Bank BUMN perlu memperkuat sistem audit internal.
- Pengusaha harus mematuhi prosedur keuangan resmi.
- Aparat hukum harus menindak tegas pelaku manipulasi.
- Edukasi bisnis transparan untuk mencegah praktik serupa.
- Investor wajib menilai risiko sebelum memberikan kredit. (*)