Jakarta, EKOIN.CO – Kota pintar masa depan di kawasan ASEAN tidak semata-mata dibangun atas dasar kecanggihan teknologi, namun juga pada kemampuannya menjawab tantangan sosial dan budaya masyarakat.
Hal ini mencuat dalam sesi diskusi bertema “Advancing Strategic Collaboration in Interdisciplinary Research Areas for Regional Development” yang berlangsung di Gedung B.J. Habibie, Jakarta, pada Kamis (24/7).
Acara ini merupakan bagian dari The 9th Science and Technology in Society (STS) Forum ASEAN-Japan Conference yang mempertemukan para ilmuwan, peneliti, dan pemangku kepentingan dari negara-negara ASEAN dan Jepang.
“Kerja sama ASEAN-Jepang bukan hanya tentang diplomasi, melainkan membangun jembatan pengetahuan antara sains dan masyarakat,” ungkap Joannes Ekaprasetya Tandjung, Direktur Penguatan dan Kemitraan Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN, saat membuka sesi diskusi tersebut.
Diskusi tersebut menjadi panggung untuk menyoroti pentingnya pendekatan riset interdisipliner dalam menyusun solusi atas persoalan pembangunan kawasan dan kota masa depan.
Teknologi yang Menjawab Kebutuhan Nyata
Urachan Tananchai, Direktur Eksekutif dari Nanotech, National Science and Technology Development Agency (NSTDA) Thailand, menekankan pentingnya penerapan teknologi yang memberdayakan masyarakat.
Ia mencontohkan penggunaan platform kecerdasan buatan (AI) yang dikombinasikan dengan chatbot dalam menanggapi keluhan publik di Bangkok. “Sebelumnya, waktu tanggap bisa mencapai tiga bulan. Kini hanya satu jam,” jelas Urachan.
Penerapan teknologi ini telah diperluas ke lebih dari 30 kota di Thailand, dengan fokus pada pelayanan publik yang efisien dan partisipatif.
Selain AI, Thailand juga mengembangkan teknologi nano untuk pemantauan kualitas air di wilayah terpencil. Inisiatif ini melibatkan kolaborasi antara komunitas lokal, ilmuwan, dan pemerintah daerah.
“Teknologi harus digunakan untuk memberdayakan komunitas, dan komunikasi yang transparan menjadi kunci agar masyarakat merasa aman dan percaya terhadap inovasi,” tambahnya.
Kota yang Peduli Aspek Manusia
Makiko Naka, Penasihat Khusus Presiden RIKEN Jepang, mengingatkan bahwa pembangunan kota pintar harus memperhatikan kondisi psikososial masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti lansia.
Ia menyampaikan bahwa pada 2050, lebih dari 40% penduduk Jepang akan berusia di atas 65 tahun. Penuaan populasi ini memicu tantangan serius seperti penurunan kognitif, kemiskinan, dan kerentanan terhadap kekerasan domestik.
“Penuaan berdampak pada fungsi kognitif dan motorik yang melemah, dan berisiko meningkatkan kemiskinan, masalah kesehatan mental, hingga kekerasan dalam keluarga,” ucapnya.
Menurutnya, desain kota tidak boleh mengabaikan dimensi emosional dan sosial warganya. Kota pintar harus menjadi tempat yang ramah dan mendukung kesejahteraan psikologis penghuninya.
“Empati sosial dan riset lintas ilmu harus menjadi fondasi dalam merancang masa depan kota yang manusiawi,” tegas Makiko.
Konteks Lokal dalam Riset Kota Pintar
Budi Prawara, Kepala Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) BRIN, menyampaikan bahwa kota pintar di ASEAN harus dibangun berdasarkan pendekatan interdisipliner dan pemahaman budaya lokal.
“Setiap solusi teknologi harus kontekstual, memahami keberagaman budaya, kebiasaan sosial, hingga preferensi mobilitas masyarakat. Itulah mengapa riset interdisipliner sangat penting,” katanya.
Menurut Budi, pendekatan yang terlalu teknokratis justru akan menciptakan solusi yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Dengan lebih dari 700 budaya lokal di Indonesia saja, ia menyarankan agar pembangunan kota melibatkan berbagai ahli, termasuk sosiolog dan perencana kota.
“Kolaborasi lintas disiplin membantu kita menciptakan solusi inovatif yang tidak hanya canggih tetapi juga relevan secara budaya dan sosial,” ungkapnya.
Diskusi pada The 9th STS Forum ASEAN-Japan Conference menekankan bahwa pembangunan kota pintar masa depan di ASEAN membutuhkan pendekatan lintas ilmu yang menggabungkan teknologi dengan pemahaman sosial. Hal ini mencerminkan paradigma baru dalam kolaborasi riset kawasan.
Pengalaman Thailand dalam menerapkan AI dan teknologi nano menunjukkan bagaimana inovasi bisa menyatu dengan kebutuhan nyata masyarakat. Di sisi lain, Jepang memberikan pelajaran penting mengenai pentingnya sisi humanistik dalam pembangunan kota, khususnya untuk kelompok rentan.
Para pembicara sepakat bahwa kota pintar bukanlah soal alat, melainkan tentang nilai dan kepedulian. Kota masa depan ASEAN harus dirancang secara inklusif agar teknologi dapat menjadi alat untuk keadilan, bukan sekadar efisiensi.(*)