Tel Aviv, EKOIN.CO – Militer Israel pada Jumat (25/7/2025) mengakui telah menghancurkan ribuan bantuan kemanusiaan berupa makanan, air, dan pasokan medis dari lebih dari 1.000 truk yang seharusnya disalurkan ke Jalur Gaza. Bantuan tersebut dibiarkan membusuk selama berminggu-minggu di perlintasan Kerem Shalom karena distribusinya diblokir, demikian dilaporkan Middle East Monitor (MEMO).
Laporan tersebut diperkuat oleh penyiaran publik Israel, KAN, yang menyebut bahwa truk-truk itu membawa puluhan ribu paket bantuan yang tak kunjung didistribusikan. Bantuan tersebut akhirnya mengalami kerusakan akibat terpapar panas dan hujan di lapangan terbuka.
Dalam keterangannya kepada KAN, seorang perwira militer Israel mengungkapkan bahwa pasokan bantuan tersebut telah dikubur atau dibakar. “Kami mengubur semuanya di dalam tanah, dan beberapa persediaan kami bakar,” ujar petugas yang enggan disebut namanya. Ia menambahkan bahwa ribuan paket lainnya masih teronggok di lokasi dan kemungkinan akan mengalami nasib serupa jika tidak segera disalurkan.
Bantuan Diblokir dan Dihancurkan
Kementerian Kesehatan Gaza pada hari yang sama melaporkan bahwa korban meninggal dunia akibat kelaparan dan malnutrisi sejak Oktober 2023 telah mencapai 122 jiwa, termasuk 83 di antaranya adalah anak-anak. Situasi ini diperburuk dengan tertahannya bantuan di perbatasan.
Pihak militer Israel berdalih penghancuran dilakukan karena adanya “kegagalan dalam mekanisme distribusi bantuan” di wilayah Gaza. Mereka mengklaim bahwa hanya sekitar 100 hingga 150 truk per hari yang berhasil masuk ke sisi Palestina, dan sebagian besar tidak dibongkar.
“Mekanismenya tidak berfungsi. Truk-truk terhenti, jalan-jalan tidak dapat digunakan, dan koordinasi tidak terjadi,” ujar seorang perwira lainnya. Ia menyatakan bahwa gudang penyimpanan bantuan telah penuh dan jika tidak segera diambil, maka seluruh barang tersebut akan dimusnahkan.
Menurut laporan The Palestine Chronicle, lebih dari 2,3 juta warga Gaza telah berada di ambang kelangsungan hidup akibat blokade, perang, dan kebijakan pembatasan yang ketat. Laporan menyebutkan bahwa kelaparan meningkat drastis dan warga terpaksa mengonsumsi pakan ternak, rumput liar, hingga kulit jagung.
Kondisi Gaza Semakin Memburuk
Organisasi internasional seperti Program Pangan Dunia (WFP) menyampaikan peringatan bahwa sepertiga penduduk Gaza telah beberapa hari tidak makan. Akses terhadap makanan pokok hampir seluruhnya terputus akibat blokade yang masih diberlakukan Israel.
Di berbagai rumah sakit dan tempat pengungsian, para tenaga medis melaporkan peningkatan signifikan kematian akibat malnutrisi, terutama di kalangan anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis. Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 11,5 persen anak-anak kini menderita malnutrisi akut berat, angka yang tergolong katastrofik menurut standar WHO.
Kelompok-kelompok kemanusiaan memperingatkan bahwa data resmi kemungkinan besar tidak mencerminkan jumlah korban sebenarnya. Runtuhnya layanan kesehatan dan sulitnya akses pemantauan di sebagian besar wilayah Gaza menyebabkan banyak kematian tidak tercatat secara formal.
Menurut laporan dari lapangan, sebagian besar keluarga kini bertahan hidup hanya dari kulit kentang, dedaunan liar, dan air yang tidak layak konsumsi. Situasi tersebut menggambarkan degradasi kondisi kemanusiaan secara cepat dan menyeluruh.
PBB dan lembaga internasional telah berulang kali menuduh Israel memblokir atau menunda bantuan, sementara puluhan ribu ton makanan dan air membusuk di titik penyeberangan. Sejak 2 Maret, penutupan perlintasan Gaza oleh Israel menyebabkan ratusan truk bantuan tidak dapat bergerak.
Seruan Sanksi dari Komunitas Internasional
Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Michael Fakhri, dalam wawancara dengan Al Jazeera, menegaskan perlunya tindakan nyata terhadap Israel. “Kita membutuhkan sanksi sekarang. Kecaman saja tidak cukup,” katanya. Ia menyebut penghancuran bantuan kemanusiaan ini sebagai bentuk hukuman kolektif yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari tindakan genosida.
Fakhri juga mengungkapkan bahwa lembaga-lembaga bantuan tidak dapat beroperasi secara bebas karena kontrol ketat dari otoritas Israel. Ia menyerukan dukungan terus-menerus dari dunia Arab dan internasional untuk mematahkan blokade dan mengalirkan bantuan darurat.
Sejak 7 Oktober 2023, tentara Israel telah meluncurkan serangan tanpa henti ke Gaza, menyebabkan lebih dari 59.600 warga Palestina tewas. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas kejahatan perang. Selain itu, Israel kini menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militer mereka di Gaza.
Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), yang semestinya mendistribusikan bantuan di lapangan, juga mendapat sorotan karena buruknya pengelolaan distribusi, yang berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat kelaparan.
Sebagian warga dunia menuntut adanya embargo senjata dan pemutusan hubungan diplomatik terhadap Israel sampai akses bantuan ke Gaza benar-benar terbuka dan terjamin keamanannya. Namun, hingga kini belum ada langkah tegas dari negara-negara besar.
Berbagai aksi unjuk rasa telah terjadi di beberapa kota besar dunia, menuntut dihentikannya kekerasan terhadap warga sipil di Gaza dan mendesak PBB serta komunitas internasional untuk lebih proaktif melindungi warga Palestina.
Saran yang dapat diberikan kepada komunitas internasional adalah pentingnya mengonsolidasikan tekanan diplomatik yang lebih luas terhadap Israel, khususnya dari negara-negara non-blok dan kawasan Arab. Langkah ini perlu dibarengi dengan strategi kemanusiaan jangka panjang, termasuk pembentukan jalur logistik alternatif yang aman dan independen.
Perlu juga bagi lembaga donor dan organisasi bantuan global untuk meninjau ulang mitra lokal yang terlibat dalam distribusi, agar bantuan tidak hanya berhenti di perbatasan. Transparansi dan akuntabilitas perlu diperkuat agar krisis kemanusiaan tidak terus dimanipulasi oleh kepentingan politik atau militer.
Pendekatan berbasis hak asasi manusia harus menjadi prinsip utama dalam kebijakan luar negeri negara-negara yang memiliki pengaruh di Dewan Keamanan PBB. Tanpa itu, segala kecaman akan bersifat simbolis tanpa dampak nyata.
Sementara itu, solidaritas sipil dari masyarakat dunia dapat diwujudkan melalui kampanye kesadaran publik, penggalangan dana, serta advokasi untuk korban perang di Gaza. Aksi kolektif ini memiliki potensi kuat dalam menggerakkan perubahan dari bawah ke atas.
Akhirnya, pengakuan terhadap krisis kemanusiaan ini bukan sekadar soal data, melainkan tentang nyawa manusia. Setiap penundaan dalam penyelesaian konflik dan distribusi bantuan berarti memperpanjang penderitaan lebih dari dua juta warga sipil yang tengah berjuang untuk hidup.