Washington EKOIN.CO – Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Jumat, 25 Juli 2025, menyatakan bahwa Hamas “tidak ingin membuat kesepakatan” dan lebih memilih “untuk mati,” dalam komentarnya yang kontroversial terkait proses negosiasi gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Trump mengungkapkan hal ini di hadapan wartawan di luar Gedung Putih, sehari setelah Amerika Serikat secara resmi menarik diri dari perundingan tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Trump, penolakan Hamas untuk mencapai kesepakatan berkaitan erat dengan upaya kelompok tersebut mempertahankan sandera demi kepentingan strategis. “Sayang sekali, Hamas tidak benar-benar ingin membuat kesepakatan. Saya pikir mereka ingin mati dan itu sangat, sangat buruk,” ujar Trump. Ia juga menambahkan bahwa sudah saatnya “menyelesaikan pekerjaan ini,” merujuk pada operasi militer Israel yang terus berlangsung di Jalur Gaza.
AS Hentikan Perundingan, Tekanan Internasional Meningkat
Pada Kamis, 24 Juli 2025, utusan khusus AS Steve Witkoff menyatakan bahwa AS menghentikan partisipasi dalam perundingan dengan Hamas. Keputusan ini diambil menyusul tanggapan terbaru dari Hamas terhadap proposal gencatan senjata yang menurut Witkoff tidak disertai “itikad baik.” Dalam pernyataannya, Witkoff menegaskan bahwa Hamas tidak memenuhi harapan untuk melakukan dialog konstruktif.
Situasi diplomatik semakin rumit karena meningkatnya tekanan dari negara-negara sekutu AS. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa Prancis akan menjadi negara pertama dalam kelompok G7 yang mengakui negara Palestina secara resmi. Hal ini diumumkan pada Kamis, 24 Juli 2025, bersamaan dengan seruan kepada Israel untuk menghentikan serangan yang memperparah krisis kemanusiaan di Gaza.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese turut menyuarakan kekhawatiran global dengan menyebut situasi di Gaza “telah melampaui ketakutan terburuk dunia.” Komentar ini menunjukkan meningkatnya ketegangan diplomatik terhadap pendekatan Israel dalam menangani konflik.
Krisis Kemanusiaan di Gaza dan Sikap Trump terhadap Netanyahu
Organisasi Pangan Dunia PBB mengungkapkan bahwa seperempat penduduk Gaza kini hidup dalam kondisi kelaparan. Hampir 100.000 perempuan dan anak-anak mengalami malnutrisi akut. Laporan PBB pada bulan lalu menyatakan 96 persen populasi Gaza menghadapi kerawanan pangan tingkat krisis dan terdapat risiko tinggi kelaparan menyeluruh di seluruh wilayah.
Menanggapi pertanyaan tentang bantuan ke Gaza, Trump mengonfirmasi bahwa ia telah berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Namun, ia menolak memberikan detail lebih lanjut, hanya menyebut percakapan tersebut “agak mengecewakan.” Meski demikian, Israel dilaporkan akan mengizinkan pengiriman bantuan asing baru ke Gaza dalam waktu dekat.
Trump juga mengomentari pernyataan Presiden Macron dengan mengatakan bahwa Macron adalah “orang yang sangat baik,” namun menilai bahwa pernyataan sang presiden “tidak berbobot” dan “tidak penting.” Komentar ini menunjukkan perbedaan pandangan antara Trump dan sejumlah pemimpin negara sahabat mengenai pendekatan penyelesaian konflik di Timur Tengah.
Seorang pejabat senior AS yang mengetahui diskusi internal menyebutkan bahwa pemerintahan Trump semakin khawatir dengan krisis Gaza. Para pejabat kini sedang mempertimbangkan respons yang paling tepat terhadap kondisi memburuk ini. Sumber tersebut berbicara secara anonim karena sensitivitas isu yang dibahas.
Pejabat tersebut menambahkan bahwa kemarahan pemerintah tidak hanya ditujukan kepada Israel, tetapi juga kepada PBB. Menurutnya, PBB tampaknya lebih fokus pada “perang hubungan masyarakat” daripada upaya nyata untuk menyelesaikan krisis. Meski begitu, pejabat itu menekankan bahwa “Israel tidak bisa bersikap acuh tak acuh terhadap situasi ini.”
Amerika Serikat disebutkan tengah berupaya menyalurkan bantuan kemanusiaan dan mencegah krisis ini berkembang lebih jauh. “Kita perlu mendapatkan bantuan, dan kita tidak ingin situasi ini semakin memburuk,” tutup pejabat tersebut.
dari peristiwa ini menunjukkan bahwa kebuntuan perundingan antara Hamas dan Israel menjadi sumber kekhawatiran global. Pernyataan Trump memperjelas posisi keras AS dalam mendukung Israel, namun menyoroti pula frustrasi Washington terhadap dinamika di lapangan. Penarikan AS dari perundingan menambah kerumitan upaya perdamaian yang semakin sulit tercapai.
Sementara itu, tekanan dari sekutu-sekutu AS, seperti Prancis dan Australia, memperlihatkan pergeseran diplomasi internasional dalam menanggapi krisis Gaza. Peningkatan krisis kemanusiaan turut memperparah situasi yang sudah genting, memaksa komunitas global untuk mempercepat respons.
Keputusan Israel untuk membuka pengiriman bantuan menunjukkan tekanan efektif dari komunitas internasional. Namun, dampaknya terhadap kondisi di Gaza dan keberlangsungan negosiasi tetap harus ditinjau secara berkala. Sikap AS dalam menghadapi PBB dan Israel sendiri menunjukkan dilema antara dukungan politik dan kepentingan kemanusiaan.
Pernyataan Trump mengenai Macron dan Netanyahu juga memperlihatkan perpecahan pendekatan antar pemimpin dunia. Situasi ini memperlihatkan perlunya upaya multilateral untuk menurunkan eskalasi dan mendorong solusi damai.
Dibutuhkan kesepakatan komprehensif dan upaya kemanusiaan berkelanjutan demi menghindari bencana lebih besar di Gaza. Tanpa dukungan politik dan logistik dari negara-negara utama, krisis ini berpotensi berkembang lebih buruk dalam waktu dekat. (*)