Phnom Penh, EKOIN.CO – Ketegangan antara Kamboja dan Thailand kembali memanas menyusul bentrokan bersenjata pada Kamis dan Jumat, 24–25 Juli 2025, di sepanjang perbatasan kedua negara. Pertempuran ini disebut-sebut sebagai konflik paling sengit antara dua negara bertetangga di Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Militer Thailand menyatakan bahwa satu dari enam jet tempur F-16 yang disiagakan telah meluncurkan serangan terhadap sasaran militer di wilayah Kamboja. Serangan ini diklaim sebagai respons atas tewasnya sedikitnya 13 warga sipil Thailand dan seorang tentara akibat bentrokan perbatasan tersebut.
Sengketa perbatasan sepanjang 817 kilometer antara Kamboja dan Thailand belum sepenuhnya tuntas garis batasnya. Sengketa ini telah berlangsung selama lebih dari seratus tahun dan menjadi pemicu ketegangan berulang. Beberapa wilayah hutan perbatasan yang menyimpan banyak kuil kuno menjadi titik konflik, karena keduanya mengklaim kedaulatan atas wilayah-wilayah tersebut.
Perbandingan kekuatan darat dan anggaran militer
Dikutip dari laporan Independent, berdasarkan data dari International Institute for Strategic Studies (IISS) yang berbasis di London, pada tahun 2024 Kamboja mengalokasikan anggaran pertahanan sebesar US$1,3 miliar. Angkatan bersenjatanya terdiri atas 124.300 personel aktif, dengan kekuatan utama terletak pada angkatan darat.
Angkatan darat Kamboja terdiri dari sekitar 75.000 tentara. Mereka dilengkapi dengan lebih dari 200 tank tempur dan sekitar 480 unit artileri. Kamboja juga dikenal sebagai negara yang banyak meninggalkan ranjau darat, warisan dari konflik internal di masa lalu.
Pada Rabu sebelumnya, lima tentara Thailand dilaporkan terluka oleh ledakan ranjau. Insiden ini memunculkan dugaan bahwa militer Kamboja telah menanam ranjau baru di sekitar perbatasan.
Sebagai perbandingan, Thailand memiliki anggaran pertahanan jauh lebih besar, yakni US$5,73 miliar. Negara ini memiliki total 360.000 personel militer aktif. Dari jumlah tersebut, 245.000 merupakan anggota angkatan darat, termasuk 115.000 wajib militer.
Angkatan darat Thailand dilengkapi sekitar 400 tank tempur, lebih dari 1.200 kendaraan lapis baja, dan sekitar 2.600 unit artileri. Selain itu, Thailand memiliki armada udara milik angkatan darat, seperti pesawat angkut, helikopter Black Hawk buatan AS, dan drone militer.
Kekuatan udara dan laut kedua negara
Angkatan udara Kamboja memiliki personel sekitar 1.500 orang dengan armada terbatas. Kamboja tidak memiliki jet tempur, tetapi mengoperasikan 10 pesawat angkut serta 16 helikopter multiguna, termasuk Mi-17 buatan era Soviet dan Z-9 buatan Tiongkok.
Sementara itu, angkatan udara Thailand dinilai sebagai salah satu yang paling canggih di Asia Tenggara. Dengan sekitar 46.000 personel, angkatan udara Thailand memiliki 112 jet tempur, termasuk 28 F-16 dan 11 Gripen buatan Swedia, serta puluhan helikopter dan pesawat pendukung.
Dari sisi angkatan laut, Kamboja memiliki sekitar 2.800 personel, termasuk 1.500 marinir. Armada lautnya terdiri atas 13 kapal patroli dan kapal tempur pesisir, serta satu kapal pendarat amfibi.
Thailand, di sisi lain, memiliki angkatan laut besar dengan hampir 70.000 personel, yang terdiri dari marinir, penerbangan angkatan laut, pertahanan pesisir, dan wajib militer. Angkatan laut Thailand memiliki satu kapal induk, tujuh frigat, 68 kapal patroli dan kapal tempur pesisir, serta sejumlah kapal pendarat.
Divisi penerbangan angkatan laut Thailand juga dilengkapi dengan berbagai helikopter dan drone. Korps marinir Thailand terdiri atas 23.000 personel dan memiliki berbagai kendaraan tempur bersenjata.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kamboja terkait serangan udara Thailand. Namun, pemerintah Kamboja sebelumnya menuding Thailand sebagai pihak yang melanggar perbatasan terlebih dahulu.
Konflik ini memicu kekhawatiran internasional, terutama mengingat adanya potensi eskalasi yang lebih luas jika tidak ada upaya diplomasi yang segera dilakukan. Organisasi regional seperti ASEAN pun disebut mulai memantau situasi dengan cermat.
Pihak Thailand menegaskan bahwa serangan udara dilakukan secara terbatas untuk merespons tindakan provokatif dan menjaga kedaulatan wilayahnya. Sementara itu, Kamboja menyebut serangan tersebut sebagai pelanggaran wilayah yang serius.
Perang opini di media masing-masing negara juga semakin memperkeruh suasana, dengan saling tuduh mengenai penyebab awal konflik.
Sejumlah warga perbatasan dari kedua negara dilaporkan mengungsi ke daerah yang lebih aman, terutama di wilayah Provinsi Preah Vihear, Kamboja, dan Provinsi Sisaket, Thailand.
Situasi ini mengingatkan kembali pada konflik tahun-tahun sebelumnya di sekitar kuil Preah Vihear, yang juga menjadi sumber pertikaian antara kedua negara.
Pemerintah Thailand dan Kamboja sama-sama menyatakan siap untuk mempertahankan wilayahnya, namun juga menyatakan terbuka untuk mediasi jika difasilitasi oleh pihak ketiga.
ketegangan antara Kamboja dan Thailand kembali meningkat akibat bentrokan bersenjata di perbatasan. Perbedaan kekuatan militer di antara keduanya cukup mencolok, terutama dalam angkatan udara dan laut.
Namun, besarnya kekuatan militer bukanlah jaminan bagi penyelesaian damai. Ketegangan di perbatasan harus segera diredakan melalui jalur diplomasi, bukan senjata.
Ketidaksepahaman tentang batas wilayah menjadi sumber utama konflik yang telah berlangsung lama. Oleh sebab itu, perlu penyelesaian hukum internasional yang adil dan mengikat bagi kedua negara.
Situasi kemanusiaan di perbatasan juga perlu diperhatikan. Warga sipil menjadi korban dan membutuhkan perlindungan serta bantuan segera.
ASEAN sebagai organisasi kawasan diharapkan aktif dalam menengahi dan mencegah eskalasi lebih lanjut, sehingga konflik tidak berkembang menjadi perang terbuka. (*)