Phnom Penh EKOIN.CO – Kamboja mengajukan permintaan gencatan senjata tanpa syarat kepada Thailand setelah dua hari bentrokan militer yang menyebabkan korban jiwa dan pengungsian massal di wilayah perbatasan. Permintaan tersebut disampaikan dalam forum Dewan Keamanan PBB oleh perwakilan Kamboja, Chhea Keo, menyusul eskalasi sengketa perbatasan yang berlangsung sejak Kamis (24/7/2025).
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Kamboja serukan gencatan senjata di PBB
Dalam pernyataan kepada media usai menghadiri pertemuan tertutup Dewan Keamanan PBB pada Jumat (25/7/2025) waktu setempat, Chhea Keo menegaskan bahwa negaranya tidak menginginkan kelanjutan konflik. “Kamboja meminta gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan kami juga menyerukan penyelesaian damai atas sengketa ini,” ujarnya seperti dikutip dari AFP, Jumat (26/7/2025).
Pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB itu digelar menyusul pecahnya perang antara Thailand dan Kamboja di wilayah perbatasan kedua negara. Konflik yang berlangsung sejak Kamis tersebut melibatkan penggunaan jet tempur, artileri berat, tank, dan pasukan darat, menandai peningkatan tajam dalam sengketa yang sudah bertahun-tahun belum terselesaikan.
Utusan Kamboja mempertanyakan tuduhan dari pihak Thailand yang menuding Phnom Penh sebagai pemicu konflik. Chhea Keo menyatakan bahwa Kamboja justru dalam posisi mempertahankan diri dan menyoroti ketimpangan kekuatan militer antara kedua negara. “Kami ingin menekankan ketimpangan kekuatan militer antara Thailand dan Kamboja yang sangat mencolok,” ucapnya.
Selain itu, Chhea Keo menegaskan bahwa pertemuan di PBB menjadi sarana penting untuk mencari solusi damai. “(Dewan Keamanan) menyerukan kedua belah pihak untuk menahan diri secara maksimal dan menempuh solusi diplomatik. Itulah yang kami serukan juga,” katanya menambahkan.
Namun hingga berita ini diturunkan, pihak Thailand belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait hasil pertemuan di PBB. Delegasi Thailand memilih tidak memberikan komentar seusai forum tersebut, dan tidak ada tanggapan terbuka atas seruan gencatan senjata dari Kamboja.
Ribuan warga mengungsi, korban terus bertambah
Kementerian Kesehatan Thailand melaporkan bahwa lebih dari 138.000 orang telah dievakuasi dari wilayah perbatasan yang terdampak konflik bersenjata tersebut. Evakuasi dilakukan sejak pecahnya pertempuran dua hari lalu dan dipusatkan di wilayah Provinsi Sa Kaeo dan Buriram, yang berbatasan langsung dengan Kamboja.
Jumlah korban tewas akibat pertempuran hingga Jumat (26/7/2025) mencapai 15 orang, terdiri dari 14 warga sipil dan satu tentara Thailand. Selain itu, 46 orang lainnya mengalami luka-luka, termasuk 15 personel militer yang terlibat dalam pertempuran di garis depan.
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja berpusat pada wilayah yang memiliki nilai historis dan strategis tinggi, dengan garis perbatasan sepanjang 800 kilometer. Kedua negara selama ini telah beberapa kali mengalami ketegangan militer, namun insiden kali ini merupakan yang paling berdampak besar dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak awal pecahnya konflik, kedua belah pihak saling menuding sebagai pemicu eskalasi. Thailand menyebut Kamboja melanggar batas wilayah dan menyerang pos militer, sementara Phnom Penh membantah dan mengklaim bertahan atas serangan awal dari Thailand.
Belum ada tanda-tanda penurunan intensitas konflik di lapangan. Suara tembakan dan ledakan masih terdengar di beberapa titik perbatasan pada Jumat pagi, meski ada desakan internasional untuk penghentian permusuhan.
Pasukan dari kedua negara masih bertahan di posisi masing-masing, dengan mobilisasi militer terus berlangsung. Beberapa laporan media menyebut bahwa Thailand mengerahkan tambahan tank dan kendaraan lapis baja ke perbatasan.
Sementara itu, Kamboja mengandalkan pasukan infanteri dan artileri ringan dalam mempertahankan wilayah yang disengketakan. Ketimpangan dalam perlengkapan militer menjadi sorotan dalam forum PBB.
Organisasi internasional dan beberapa negara anggota PBB menyerukan agar kedua pihak menghentikan kekerasan dan kembali ke meja perundingan. Belum ada inisiatif konkret yang diumumkan selain seruan lisan untuk gencatan senjata.
Masyarakat internasional khawatir bahwa konflik ini dapat menggangu stabilitas kawasan Asia Tenggara dan berdampak pada ekonomi regional, mengingat pentingnya posisi geografis Thailand dan Kamboja sebagai jalur perdagangan.
Sampai saat ini, belum diketahui apakah akan ada pertemuan lanjutan di PBB terkait perkembangan konflik ini. Kamboja terus mendesak agar PBB mengeluarkan resolusi resmi yang menyerukan penghentian perang.
Sebaliknya, Thailand tampak berhati-hati dan belum mengumumkan rencana tindak lanjut dalam forum internasional. Pemerintah Thailand hingga kini masih mengedepankan koordinasi internal dalam merespons konflik.
Situasi keamanan di wilayah perbatasan tetap dalam status siaga tinggi. Pemerintah setempat memperpanjang masa darurat di zona konflik, serta membatasi aktivitas warga sipil di sekitar lokasi pertempuran.
Evakuasi warga terus dilakukan di kedua sisi perbatasan. Pusat-pusat pengungsian darurat didirikan di wilayah aman, namun kekurangan pasokan makanan dan obat-obatan menjadi tantangan serius.
Hingga kini, belum ada jaminan keamanan jangka pendek di perbatasan Thailand-Kamboja. Kedua negara masih menunjukkan kesiapan militer tinggi, meskipun desakan untuk damai semakin kuat.
Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya diplomasi dalam menyelesaikan konflik antarnegara. Ketidakseimbangan kekuatan militer tidak serta-merta menjadi dasar legitimasi, dan peran PBB sangat krusial dalam mengurangi potensi eskalasi lebih lanjut.
Penyelesaian damai menjadi harapan semua pihak, mengingat dampak luas dari konflik yang tidak hanya menyangkut korban jiwa, tetapi juga stabilitas ekonomi dan politik di kawasan.
dari masyarakat internasional mengedepankan dialog terbuka yang netral, di bawah pengawasan badan internasional, untuk menyelesaikan sengketa perbatasan ini secara adil.
Langkah awal seperti penghentian permusuhan dan pembukaan akses kemanusiaan di wilayah terdampak sangat mendesak dilakukan, mengingat tingginya angka pengungsian dan korban sipil.
Peran negara-negara tetangga di ASEAN juga diharapkan dapat membantu mediasi dan mendukung penyelesaian damai, tanpa berpihak kepada salah satu pihak.
Penguatan peran organisasi internasional dan kerja sama kawasan menjadi penting untuk menjaga perdamaian dan mencegah konflik serupa terulang di masa depan.
(*)