Jakarta ,- EKOIN – CO – Isu pelanggaran hak cipta lagu kembali menjadi sorotan publik setelah viralnya kasus penggunaan lagu tanpa izin dalam salah satu gerai restoran cepat saji Mie Gacoan. Menanggapi fenomena ini, Pakar Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Dr. Suyud Margono, S.H., MHum., FCIArb, memberikan penjelasan komprehensif mengenai pentingnya perlindungan hak cipta dalam industri musik serta prosedur yang seharusnya ditempuh sebelum menempuh jalur pidana.
Menurut Suyud, masyarakat perlu memahami bahwa lagu, baik lirik maupun musiknya, merupakan karya cipta yang dilindungi undang-undang. “Lagu yang diciptakan, apalagi oleh pencipta yang sudah punya jam terbang tinggi dan dikenal luas, tentu memiliki nilai ekonomi. Karena itu, ketika digunakan untuk publikasi seperti di event, restoran, kafe, atau di-cover dan diaransemen ulang, maka wajib ada izin dan pembayaran royalti,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa penggunaan lagu tanpa izin, termasuk dalam bentuk pemutaran lagu di tempat usaha, merupakan bentuk pelanggaran hak cipta jika tidak disertai izin melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menaungi para pencipta lagu.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dalam kasus seperti event musik, pertanggungjawaban royalti seharusnya menjadi beban penyelenggara acara, bukan hanya penyanyi. “Penyelenggara event wajib melaporkan daftar lagu yang dibawakan, kemudian membayar royalti melalui LMK. Begitu juga restoran atau kafe yang memutar lagu, mereka harus mengurus lisensi dan membayar royalti sesuai dengan perhitungan yang berlaku,” jelas Suyud.
Ia mencontohkan sistem pelaporan royalti yang sudah berjalan di beberapa negara, di mana tempat usaha menyerahkan daftar lagu yang diputar secara berkala sehingga LMK dapat menghitung distribusi royalti kepada pencipta lagu.
Kasus Mie Gacoan dan Pendekatan Hukum
Terkait dengan laporan terhadap restoran Mie Gacoan, Dr. Suyud menyebut bahwa pelaporan pidana semestinya menjadi langkah terakhir. “Dalam kasus pelanggaran royalti seperti ini, sebaiknya diutamakan pendekatan administratif atau mediasi terlebih dahulu, bukan langsung menjadikan seseorang sebagai tersangka. Apalagi yang digunakan adalah aset perusahaan atau korporasi,” katanya.
Menurutnya, pendekatan sanksi administratif bisa dilakukan lebih dulu, seperti pemblokiran izin siar atau larangan memutar lagu hingga royalti dibayarkan. “Perusahaan besar yang punya banyak cabang tentu memiliki kemampuan membayar royalti. Yang perlu diperhatikan adalah tujuannya: bukan menghukum, tapi memastikan hak pencipta dilindungi,” tegasnya.
Blanket License dan Peran LMK
Ia juga menyoroti pentingnya blanket license yang diberikan oleh pencipta lagu kepada LMK. Melalui lisensi tersebut, LMK berhak mengatur penggunaan karya di ruang publik dan berwenang menindak bila terjadi pelanggaran. Namun, kata dia, kewenangan itu pun semestinya dilandasi semangat edukatif, bukan represif.
“LMK boleh saja melapor ke polisi, tapi sebelumnya harus jelas dulu apakah sudah ada peringatan, mediasi, dan upaya persuasif. Jangan langsung pidana. Kecuali ada pembajakan besar-besaran atau pelanggaran berulang,” tambahnya.
Penutup
Suyud mengimbau para pelaku usaha, event organizer, maupun penyanyi untuk memahami pentingnya penghormatan terhadap hak cipta. Ia juga menyarankan LMK untuk lebih terbuka dan sistematis dalam sosialisasi serta pelaporan royalti.
“Jika semua pihak transparan dan saling memahami, maka perlindungan terhadap karya cipta bisa berjalan adil. Pencipta terlindungi, pengguna pun nyaman,” tutupnya.