Jakarta EKOIN.CO – Terdakwa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyatakan dirinya menjadi korban dari aksi jahat mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dan mantan kader PDIP, Saeful Bahri, dalam kasus dugaan suap pengurusan pergantian antar waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 serta perintangan penyidikan terhadap Harun Masiku. Pernyataan itu disampaikan saat membacakan duplik dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat, 18 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam sidang tersebut, Hasto menuturkan bahwa dirinya dijebak dalam kesepakatan dana operasional antara Wahyu Setiawan dan Saeful Bahri, yang juga melibatkan Donny Tri Istiqomah serta Harun Masiku. Hasto menegaskan bahwa ia tidak pernah menyetujui kebijakan partai yang menyimpang dari jalur hukum.
“Terdakwa menjadi korban ‘ayo mainkan’ Wahyu Setiawan dengan kesepakatan dana operasional yang juga untuk kepentingan pribadi yang dilakukan Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, beserta Harun Masiku,” kata Hasto di hadapan majelis hakim.
Ia juga menyampaikan bahwa dirinya pernah memarahi Saeful Bahri ketika mengetahui adanya permintaan uang kepada Harun Masiku guna melancarkan proses PAW tersebut. Hal ini diklaim sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap praktik melanggar hukum.
Hasto menyatakan, baik secara pribadi maupun sebagai sekjen partai, ia tidak pernah mendukung kebijakan partai di luar kerangka hukum yang berlaku. Menurutnya, selama proses persidangan, tidak terbukti adanya niat jahat atau mens rea dari dirinya.
Tegaskan Tidak Ada Keuntungan Pribadi
Lebih lanjut, Hasto menekankan bahwa ia tidak memperoleh keuntungan pribadi dari dugaan suap tersebut. Ia juga menyebut bahwa tindakan yang dituduhkan tidak memiliki unsur perbuatan melawan hukum yang disengaja.
“Bahwa ajaran actus reus dan mens rea dalam hukum pidana mengharuskan adanya perbuatan melawan hukum dan niat jahat pada diri terdakwa,” ujar Hasto dalam persidangan.
Ia meminta majelis hakim mempertimbangkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1276 K/Pid/2025 yang menyatakan unsur pemberian atau janji harus benar-benar terbukti dilakukan oleh terdakwa. Dalam kasus itu, MA membebaskan terdakwa karena tidak terbukti memberi atau menjanjikan suap kepada pejabat terkait.
“Melalui Putusan MA Nomor 1276 K/Pid/2025 tersebut, MA membebaskan terdakwa dalam kasus suap, karena pengadilan berkesimpulan bahwa terdakwa tidak pernah secara langsung maupun tidak langsung memberikan atau menjanjikan kepada pejabat dimaksud,” tutur Hasto.
Namun demikian, jaksa KPK sebelumnya telah membacakan replik atas pleidoi Hasto pada Senin, 14 Juli 2025. Dalam replik itu, jaksa memaparkan 16 poin yang dinilai membuktikan Hasto terlibat secara sah dan meyakinkan dalam kasus suap PAW dan perintangan penyidikan terhadap Harun Masiku.
Dakwaan Suap dan Perintangan Penyidikan
Jaksa tetap menuntut Hasto dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 600 juta. Tuntutan ini muncul dari penilaian jaksa bahwa seluruh elemen dalam perkara ini menunjukkan keterlibatan aktif Hasto.
Menurut dakwaan, Hasto bersama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku memberikan suap senilai Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan. Suap tersebut bertujuan agar Wahyu membantu pengurusan PAW dari Riezky Aprilia ke Harun Masiku, yang merupakan calon legislatif dapil Sumatera Selatan I.
Tak hanya itu, Hasto juga disebut menghalangi penyidikan KPK dengan cara memerintahkan Harun, melalui Nur Hasan, untuk merendam ponsel Harun ke dalam air usai penangkapan Wahyu Setiawan oleh KPK.
Selain ponsel milik Harun, Hasto juga diduga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam lain sebagai bentuk antisipasi terhadap penyitaan barang bukti oleh penyidik KPK.
Dalam dakwaan, Hasto dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 65 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jaksa menilai upaya penghilangan alat bukti serta keterlibatan Hasto dalam komunikasi dengan pihak-pihak terkait menunjukkan indikasi perencanaan matang. Oleh karena itu, jaksa menilai penjatuhan hukuman setimpal adalah langkah yang wajar dan proporsional.
Sementara itu, tim penasihat hukum Hasto menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti secara hukum karena saksi-saksi yang dihadirkan tidak menunjukkan bahwa Hasto memberi perintah langsung. Mereka berharap majelis hakim mempertimbangkan fakta-fakta persidangan secara menyeluruh.
dari kasus ini menunggu vonis dari majelis hakim yang dijadwalkan akan dibacakan dalam waktu dekat. Proses hukum terhadap Hasto menjadi bagian penting dalam upaya pemberantasan korupsi yang masih berjalan di tubuh partai politik dan penyelenggara pemilu.
Persidangan ini juga menarik perhatian publik karena menyangkut tokoh sentral partai politik besar dan dugaan keterlibatan dalam manipulasi posisi parlemen yang semestinya bersih dari praktik transaksional.
Pemeriksaan terhadap peran Harun Masiku yang hingga kini masih buron menjadi perhatian lanjutan dalam perkara ini. Pihak KPK belum mengonfirmasi penangkapan terhadap Harun, meskipun berbagai upaya pelacakan terus dilakukan.
Dinamika persidangan Hasto Kristiyanto membuka perdebatan baru terkait akuntabilitas kader partai dalam penunjukan jabatan publik melalui mekanisme PAW. Selain itu, juga mencerminkan tantangan penegakan hukum di tengah struktur politik yang kompleks.
Proses hukum terhadap Hasto menunjukkan bahwa pengawasan terhadap proses PAW masih menyisakan celah yang dapat disalahgunakan oleh oknum. Oleh karena itu, sistem dan mekanisme internal partai politik perlu diperkuat agar tidak membuka ruang bagi penyimpangan hukum.
Penting bagi lembaga penegak hukum untuk memastikan bahwa setiap dakwaan dibangun di atas dasar pembuktian yang kuat dan tidak sekadar asumsi. Jika tuduhan terhadap Hasto tidak terbukti, maka harus menjadi pelajaran untuk tidak mudah menjadikan tokoh politik sebagai target proses hukum.
Sebaliknya, apabila terbukti bersalah, maka perlu ada komitmen bersama bahwa siapa pun pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum tanpa pandang bulu. Hal ini demi menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
bagi lembaga politik adalah meningkatkan transparansi dalam setiap proses seleksi dan penempatan kader. Evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme PAW harus dilakukan, termasuk membuka akses informasi kepada publik sebagai bagian dari akuntabilitas.
Selain itu, edukasi hukum dan kode etik perlu ditanamkan secara konsisten kepada kader partai agar memahami batasan wewenang dan tanggung jawab mereka. Organisasi partai harus menjadi garda terdepan dalam mencegah praktik politik uang.
Keterlibatan elite partai dalam praktik suap adalah pukulan serius bagi demokrasi. Maka dari itu, reformasi internal partai harus terus didorong dengan dukungan publik dan pemantauan dari lembaga independen.
Penguatan kerja sama antara KPK, Bawaslu, dan KPU sangat penting untuk mencegah skenario manipulasi pemilu, termasuk dalam konteks PAW. Kerja kolaboratif antarlembaga menjadi faktor kunci dalam menciptakan sistem politik yang bersih.
Pemberitaan yang transparan dan berimbang tentang proses hukum ini juga menjadi instrumen penting dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap proses peradilan. Media diharapkan mampu menjaga akurasi dan etika dalam peliputan kasus hukum yang menyangkut pejabat publik. (*)