Jakarta, – EKOIN – CO – Pengamat Hukum Tata Negara, Abd. R. Rorano S. Abubakar, mengungkapkan keprihatinannya terhadap sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai masih menyimpan potensi tumpang tindih kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Hemat saya, ada beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang belum secara tegas memisahkan kewenangan antara penyidikan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan,” ujar Rorano dalam keterangannya kepada media, Sabtu (20/7).
Menurut Rorano, tumpang tindih kewenangan tersebut bukan hanya menimbulkan kebingungan prosedural, tetapi juga berisiko menghambat proses hukum dan merugikan pencari keadilan.
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana yang ideal, pembagian tugas antara penyelidikan dan penyidikan—yang umumnya menjadi kewenangan Kepolisian—dengan penuntutan yang diemban Kejaksaan, harus ditetapkan secara tegas dan tidak multitafsir.
Setidaknya, ada empat poin krusial yang disoroti Rorano terkait potensi disharmoni tersebut:
Pertama, mekanisme penyidikan bersama atau koordinasi antarlembaga belum diatur secara jelas. Menurutnya, ketiadaan perincian dalam pelaksanaan koordinasi ini bisa menimbulkan perbedaan tafsir dan perselisihan kewenangan di lapangan.
Kedua, kewenangan Jaksa dalam tahap penyidikan dinilai berpotensi terlalu luas. “Meskipun Kejaksaan memiliki fungsi pengawasan pra-penuntutan, pemberian kewenangan tanpa batas yang jelas bisa mengganggu independensi penyidik Polri,” ujar Rorano.
Ketiga, penyelesaian perkara berpotensi menjadi tidak efisien akibat ketidakjelasan batas kewenangan. Hal ini bisa memicu praktik bolak-balik berkas perkara (P19) yang memperlambat proses hukum dan menciptakan ketidakpastian hukum bagi tersangka dan korban.
Keempat, persoalan akuntabilitas yang kabur. Dalam kasus terjadi kesalahan prosedur atau keterlambatan, sulit untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab bila kewenangan tidak terdefinisi dengan tegas.
“Penting sekali untuk memastikan bahwa setiap institusi memiliki mandat yang jelas dan tidak saling intervensi dalam lingkup tugas masing-masing, kecuali dalam kerangka koordinasi yang sudah diatur secara rigid dan transparan,” tegas Rorano.
Ia menekankan bahwa RUU KUHAP seharusnya menjadi instrumen yang menciptakan harmonisasi antarpenegak hukum, bukan justru memperbesar potensi disharmoni kelembagaan.
“Perlu ada penegasan kembali mengenai domain masing-masing lembaga agar tidak ada celah untuk saling mengklaim atau bahkan saling melempar tanggung jawab. Prinsip check and balance harus tetap terjaga dengan pembagian tugas yang proporsional,” pungkasnya.