Damaskus EKOIN.CO – Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa menerima dukungan langsung dari tiga pemimpin utama kawasan Timur Tengah pada Kamis, 17 Juli 2025, di tengah meningkatnya tekanan akibat serangan udara Israel dan ketegangan domestik. Dukungan tersebut datang melalui sambungan telepon dari Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Ketiga pemimpin menyampaikan solidaritas penuh terhadap pemerintah transisi Suriah dan menekankan pentingnya menjaga integritas wilayah negara itu. Mereka menolak segala bentuk campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Suriah serta mengecam serangan udara berulang dari Israel.
Dalam pernyataan yang disampaikan kantor kepresidenan Suriah, para pemimpin tersebut menilai aksi militer Israel sebagai “eskalasi berbahaya” yang berpotensi memicu kekacauan lebih luas di kawasan. Mereka juga menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan Suriah.
Presiden Erdogan, Putra Mahkota Salman, dan Emir Tamim juga menegaskan bahwa keamanan dan stabilitas di Suriah harus menjadi prioritas utama untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Suriah. Mereka menyampaikan keprihatinan atas meningkatnya kekerasan dan potensi konflik berkepanjangan.
Presiden Ahmed al-Sharaa menyampaikan apresiasinya atas dukungan tersebut dan menyebut bahwa solidaritas regional sangat penting dalam menghadapi tekanan geopolitik serta tantangan keamanan dalam negeri. Ia menyatakan komitmen pemerintah untuk menjaga stabilitas nasional dan menghentikan campur tangan asing.
Serangan Udara dan Ketegangan Internal
Dukungan dari ketiga negara tersebut datang hanya sehari setelah serangan udara besar-besaran Israel pada Rabu, 16 Juli 2025, yang menargetkan lebih dari 160 lokasi di empat wilayah Suriah. Serangan meliputi Suwayda, Daraa, Damaskus, dan wilayah sekitarnya.
Menurut laporan dari kantor berita resmi Suriah, sedikitnya tiga orang tewas dan 34 lainnya terluka di Damaskus akibat serangan itu. Pemerintah Israel mengklaim bahwa operasi ini bertujuan melindungi komunitas Druze di wilayah selatan Suriah.
Meski demikian, para pemimpin komunitas Druze di Suriah secara terbuka menolak intervensi asing dan menegaskan kembali kesetiaan terhadap negara. Mereka menyerukan penyelesaian damai atas konflik internal yang terjadi di wilayah Suwayda dan sekitarnya.
Ketegangan di selatan Suriah meningkat sejak pecahnya bentrokan bersenjata pada 13 Juni 2025 antara kelompok Druze dan suku Arab Badui. Bentrokan tersebut menewaskan puluhan anggota pasukan keamanan pemerintah.
Serangan Israel terjadi di tengah upaya gencatan senjata yang sempat dilakukan antara faksi-faksi lokal dan pasukan pemerintah, namun perjanjian itu gagal dipertahankan setelah eskalasi kekerasan kembali meningkat.
Kondisi ini memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah selatan, dengan ribuan warga terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih aman di dalam negeri. Akses bantuan kemanusiaan pun dilaporkan terganggu akibat situasi keamanan yang tidak stabil.
Komitmen Pemerintah Transisi Suriah
Dalam pernyataannya, Presiden al-Sharaa mengatakan bahwa pemerintah akan melindungi semua kelompok agama dan etnis tanpa kecuali. Ia menekankan bahwa Suriah adalah rumah bagi berbagai komunitas yang harus dihormati dan dilindungi secara setara.
Ia menuduh pihak-pihak asing sebagai dalang di balik instabilitas yang kini melanda negara tersebut, melalui penyebaran senjata dan dukungan terhadap kelompok-kelompok yang menolak otoritas pemerintah. Al-Sharaa menyebut pemerintah akan mengambil tindakan hukum terhadap semua pelanggar.
Sejak Presiden Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia pada Desember 2024 dan rezim Baath tumbang, Suriah memasuki fase transisi politik yang kompleks. Pemerintahan sementara yang dipimpin oleh al-Sharaa mulai bekerja sejak Januari 2025.
Israel, yang selama ini menuding Suriah sebagai basis operasi kelompok bersenjata anti-Israel, meningkatkan intensitas serangannya setelah perubahan kekuasaan tersebut. Pemerintah Israel juga menyatakan bahwa Perjanjian Pemisahan 1974 dengan Suriah tidak lagi relevan.
Israel kini mengklaim tidak terikat dengan zona penyangga yang selama ini ditetapkan antara kedua negara, sehingga serangan ke wilayah Suriah selatan dianggap sebagai langkah preventif terhadap ancaman yang disebutkan berasal dari kelompok bersenjata.
Pemerintah transisi Suriah, di sisi lain, menolak klaim Israel dan menyatakan bahwa operasi militer dari luar hanya memperburuk kondisi keamanan serta menghambat proses rekonsiliasi nasional yang sedang dirintis.
Kantor kepresidenan Suriah menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah adalah membangun kembali institusi negara, menciptakan kondisi aman bagi warganya, dan membuka ruang dialog nasional dengan semua elemen yang berkomitmen pada persatuan dan hukum negara.
Dukungan politik dari negara-negara seperti Turki, Arab Saudi, dan Qatar dinilai sebagai sinyal penting bagi posisi pemerintah transisi dalam dinamika geopolitik regional, terutama dalam menghadapi tekanan dari Israel dan kekuatan asing lainnya.
Kerja sama regional dalam menjaga stabilitas Suriah disebut akan terus dibahas dalam forum-forum tingkat tinggi antara pemimpin Timur Tengah, termasuk rencana kunjungan bilateral yang dijadwalkan dalam waktu dekat.
Pemerintah Suriah menegaskan bahwa mereka terbuka untuk semua bentuk kerja sama yang menghormati kedaulatan nasional dan tidak didasarkan pada kepentingan luar negeri yang merugikan rakyat Suriah.
Ke depan, perhatian akan tertuju pada bagaimana pemerintah transisi menyeimbangkan tekanan internasional dengan dinamika domestik yang terus bergolak, termasuk menjaga integritas wilayah di tengah serangan asing dan ketegangan antar komunitas lokal.
Pemerintah juga diharapkan mampu menegakkan supremasi hukum secara adil dan tegas, tanpa mengesampingkan upaya rekonsiliasi yang mencerminkan kehendak bersama rakyat untuk hidup damai dalam satu kesatuan negara.
dukungan dari Turki, Arab Saudi, dan Qatar menjadi momentum diplomatik penting bagi pemerintah transisi Suriah untuk memperkuat legitimasi politiknya dan menggalang solidaritas kawasan dalam menghadapi intervensi asing. Langkah ini dapat membuka jalur baru menuju stabilitas nasional yang lebih kokoh dan inklusif.
Namun, tantangan di lapangan tetap kompleks, terutama dengan adanya kelompok bersenjata yang menolak otoritas negara serta meningkatnya serangan dari Israel. Pemerintah harus memperkuat koordinasi keamanan untuk memastikan perlindungan warga sipil.
Krisis kemanusiaan di wilayah selatan perlu segera direspons dengan pendekatan terpadu antara pemerintah dan lembaga bantuan, agar tidak berkembang menjadi bencana yang lebih luas. Kesinambungan distribusi bantuan harus dipastikan dengan dukungan militer dan logistik yang memadai.
Upaya rekonsiliasi antar komunitas juga menjadi aspek penting dalam menciptakan fondasi perdamaian jangka panjang. Negara harus merangkul semua elemen masyarakat yang bersedia bekerja sama untuk membangun Suriah yang baru.
Di tengah tekanan geopolitik, diplomasi aktif Suriah harus tetap dijalankan untuk menjaga hubungan strategis dengan mitra regional dan internasional yang mendukung kedaulatan dan stabilitas nasional.(*)