Damaskus EKOIN.CO – Ketertarikan negara-negara besar terhadap konflik di Suriah sejak 2011 mencerminkan lebih dari sekadar kepedulian terhadap krisis kemanusiaan. Kejatuhan Presiden Bashar al-Assad pada akhir 2024 memperjelas dinamika kekuatan global yang saling bersaing demi mempertahankan pengaruh di kawasan strategis Timur Tengah.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Konflik ini bukan hanya urusan internal Suriah, melainkan juga ladang persaingan geopolitik antara Rusia, Amerika Serikat, Iran, Turki, hingga negara-negara Teluk. Setiap kekuatan dunia membawa kepentingannya masing-masing dalam bentuk dukungan terhadap faksi yang berseberangan.
Menurut laporan dari Middle East Eye dan Al Jazeera, keterlibatan Rusia di Suriah terutama untuk mempertahankan akses militer di Laut Tengah, melalui pangkalan angkatan laut di Tartus dan pangkalan udara di Hmeimim. Pangkalan-pangkalan ini sangat penting bagi strategi militer dan diplomatik Moskow di kawasan.
Rusia mulai melakukan operasi militer langsung pada September 2015. Langkah ini mengubah jalannya perang, memperkuat posisi rezim Assad, dan menghambat kemajuan oposisi yang sempat mendapatkan momentum. Dalam pidatonya, Presiden Vladimir Putin menyebut intervensi itu sebagai bagian dari “perang melawan terorisme”.
Namun kenyataannya, banyak pengamat menilai bahwa intervensi Rusia juga dimaksudkan untuk menantang dominasi Barat di Timur Tengah dan mempertahankan aliansi jangka panjang dengan Suriah yang telah terjalin sejak era Soviet.
Amerika Serikat dan Kepentingan Keamanan Regional
Amerika Serikat sejak awal konflik mendukung kelompok oposisi moderat. Washington berkepentingan menyingkirkan Assad, yang dianggap sebagai pemimpin otoriter dan sekutu Iran. Selain itu, AS juga khawatir Suriah menjadi basis bagi kelompok ekstremis seperti ISIS.
Sejak 2014, AS memimpin koalisi internasional yang melancarkan serangan udara terhadap ISIS di Suriah dan Irak. Operasi ini juga menjadi alasan bagi militer AS untuk menempatkan pasukan di timur laut Suriah bersama milisi Kurdi yang tergabung dalam Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
Keberadaan pasukan AS di Suriah sering kali memicu ketegangan dengan Rusia dan Iran. Dalam pernyataan resmi Pentagon, mereka menegaskan kehadiran militer Amerika di wilayah itu “semata untuk memerangi ISIS”, namun analis menilai hal itu juga terkait pengaruh geopolitik dan sumber daya.
Selain memerangi ISIS, Washington juga berusaha membatasi pengaruh Iran yang makin luas di Suriah. Teheran dikenal sebagai sekutu dekat Damaskus dan telah mengirim ribuan milisi serta penasihat militer ke wilayah konflik.
Langkah AS juga bertujuan menjaga aliansi dengan Israel, yang berkepentingan agar Iran tidak menancapkan kekuatan militernya di Suriah bagian selatan dekat perbatasan.
Iran, Turki, dan Negara Teluk Berebut Kepentingan
Iran memiliki kepentingan ideologis dan strategis dalam mempertahankan rezim Assad. Suriah adalah jalur vital bagi pengiriman senjata ke Hizbullah di Lebanon, dan keberadaannya membantu Iran membentuk “koridor Syiah” dari Teheran hingga Beirut.
Pasukan Quds dan Garda Revolusi Iran telah lama terlibat aktif dalam mendukung pasukan pro-pemerintah. Dalam wawancara dengan Press TV, pejabat Iran menyatakan bahwa stabilitas Suriah “adalah garis merah bagi kepentingan Iran”.
Sementara itu, Turki menolak keras keberadaan milisi Kurdi yang dianggap sebagai perpanjangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), kelompok separatis yang telah lama bermusuhan dengan Ankara. Turki melakukan intervensi militer di utara Suriah untuk membentuk zona aman dan mencegah terbentuknya negara Kurdi de facto.
Menurut Anadolu Agency, Presiden Recep Tayyip Erdoğan menyebut keberadaan Kurdi bersenjata di perbatasan sebagai “ancaman langsung bagi keamanan nasional Turki”. Ia menegaskan operasi militer Turki “akan terus dilakukan sampai teroris dihapuskan dari perbatasan”.
Negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan Qatar sejak awal memberikan dukungan finansial kepada kelompok oposisi Sunni yang memerangi Assad. Mereka menuduh rezim Assad sebagai boneka Iran dan berusaha menyeimbangkan pengaruh Teheran di kawasan.
Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian negara-negara Teluk terhadap konflik Suriah menurun, terutama setelah mereka menghadapi konflik internal seperti perang di Yaman dan ketegangan dengan Iran di Teluk Persia.
Peta konflik Suriah kini menunjukkan bahwa tidak ada satu pihak pun yang benar-benar menang. Kawasan ini tetap terpecah antara wilayah yang dikuasai pemerintah, milisi Kurdi, oposisi bersenjata, dan sisa-sisa ISIS yang masih aktif.
Pasca kejatuhan Bashar al-Assad pada akhir 2024, kekosongan kekuasaan kembali membuka ruang bagi perebutan pengaruh. Pemerintahan sementara yang dibentuk oleh berbagai faksi belum menunjukkan stabilitas politik yang kuat.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh kekuatan luar untuk memperkuat posisinya. Rusia dan Iran mendukung faksi-faksi loyalis, sementara AS dan Turki mendekati kelompok-kelompok oposisi yang dinilai sejalan dengan agenda mereka.
Situasi di lapangan semakin rumit dengan banyaknya milisi lokal yang tidak terkendali. Laporan dari Syrian Observatory for Human Rights menyebutkan bahwa konflik internal antarfaksi makin sering terjadi di wilayah timur dan utara.
Organisasi kemanusiaan internasional menyatakan kekhawatiran terhadap dampak konflik yang berlarut-larut ini. PBB mencatat lebih dari 13 juta warga Suriah masih membutuhkan bantuan kemanusiaan, dan sebagian besar tinggal di kamp pengungsian.
Krisis ekonomi pasca konflik dan kehancuran infrastruktur juga menjadi tantangan besar bagi upaya rekonstruksi. Negara-negara donor menahan bantuan karena tidak adanya jaminan stabilitas dan pemerintahan yang sah.
Bagi warga sipil, masa depan Suriah tetap suram. Banyak yang memilih tetap berada di luar negeri sebagai pengungsi karena takut terhadap kekacauan dan ketidakpastian di dalam negeri.
Meskipun pertempuran besar telah berkurang sejak 2023, ancaman konflik bersenjata tetap ada. Perebutan pengaruh antara kekuatan asing di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Upaya diplomatik melalui forum seperti Astana Process atau perundingan PBB di Jenewa sejauh ini belum membuahkan hasil konkret. Masing-masing pihak masih memprioritaskan kepentingan strategisnya sendiri.
Dalam jangka panjang, stabilitas Suriah akan sangat bergantung pada kemampuan masyarakat internasional untuk menekan kekuatan regional dan global agar menghormati kedaulatan dan masa depan rakyat Suriah.
Kejatuhan Assad bukan akhir dari konflik, melainkan awal dari babak baru perebutan kekuasaan. Rakyat Suriah masih menanti pemerintahan yang bisa menyatukan negara dan menghentikan penderitaan mereka.
dari konflik di Suriah menunjukkan bahwa perebutan pengaruh di kawasan ini lebih didorong oleh pertimbangan strategis global daripada solidaritas kemanusiaan. Keterlibatan kekuatan besar hanya memperpanjang penderitaan rakyat sipil. Perang proksi telah menghancurkan tatanan negara dan memperburuk krisis pengungsi di seluruh dunia. Peta geopolitik kawasan pun terus berubah seiring jatuh bangunnya aliansi militer dan diplomatik. Dengan konflik yang belum berakhir, Suriah menjadi contoh nyata bagaimana perebutan kekuasaan bisa melumpuhkan satu negara selama puluhan tahun.
yang dapat diberikan adalah mendorong kekuatan internasional untuk menahan diri dari eksploitasi politik terhadap Suriah. PBB dan lembaga internasional sebaiknya lebih aktif menengahi dan mengawasi penyelesaian konflik yang adil. Perlu juga dibentuk konsorsium independen yang membantu rekonstruksi infrastruktur tanpa intervensi politik. Media global harus konsisten mengangkat suara korban sipil dan bukan hanya narasi kekuatan militer. Terakhir, rakyat Suriah harus diberi ruang yang adil untuk menentukan masa depannya melalui pemilu yang bebas dan demokratis. (*)