Jakarta EKOIN.CO – Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Arsjad Rasjid, menyampaikan keprihatinan atas turunnya daya beli masyarakat Indonesia saat ini. Dalam paparannya di Forum “Driving Inclusive Growth: Innovation, Industrialization and Energy Transition for Job Creation” di Universitas Paramadina pada Minggu, 20 Juli 2025, Arsjad menyebut masyarakat Indonesia kini sudah tidak memiliki cukup uang untuk berbelanja, meski angka pertumbuhan ekonomi nasional masih tercatat positif.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut Arsjad, fokus kebijakan ekonomi Indonesia seharusnya tidak hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi, yang saat ini berada di kisaran 4,7 persen. Hal yang lebih mendesak adalah menanggulangi pelemahan daya beli masyarakat yang signifikan. Ia menilai bahwa turunnya daya beli merupakan sinyal bahwa masyarakat tidak lagi memiliki kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhan konsumtif sehari-hari.
“Daya beli masyarakat menurun karena mereka tidak punya uang. Pertumbuhan ekonomi kita memang masih ada, tetapi tidak berarti banyak jika masyarakat tidak sanggup belanja,” ungkap Arsjad.
Lebih jauh, Arsjad menyoroti bahwa kondisi global yang tidak menentu turut memberikan tekanan terhadap perekonomian Indonesia. Konflik berkepanjangan di Timur Tengah, dampak kebijakan luar negeri Donald Trump, serta eskalasi perang antara Rusia dan Ukraina, disebutnya sebagai faktor eksternal yang mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Selain itu, perlambatan ekonomi Tiongkok juga menambah tekanan bagi ekonomi Indonesia. Padahal, selama ini Tiongkok menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia. Ketika ekonomi negara tersebut mengalami perlambatan, maka permintaan terhadap produk ekspor Indonesia otomatis menurun.
Masalah Tenaga Kerja Semakin Mendesak
Dalam forum tersebut, Arsjad juga menyoroti persoalan ketenagakerjaan di Indonesia. Walaupun tingkat pengangguran terbuka mengalami sedikit penurunan, angka total pengangguran masih berada di angka 7,28 juta orang. Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi belum sepenuhnya menyentuh sektor tenaga kerja.
Ia menekankan bahwa sekitar 60 persen dari total angkatan kerja di Indonesia saat ini masih berkutat di sektor informal. Hal ini menjadi indikator lemahnya penciptaan lapangan kerja formal yang berkualitas dan berkelanjutan di Tanah Air.
“Kita punya pekerjaan rumah besar. Sebagian besar pekerja masih bertumpu pada sektor informal, yang keamanannya lemah dan tanpa perlindungan sosial yang memadai,” tutur Arsjad.
Struktur ekonomi Indonesia dinilai masih sangat tergantung pada dua kelompok besar, yaitu para pedagang dan pekerja. Menurut Arsjad, para pedagang menggantungkan hidup dari laba usaha mereka, sedangkan para pekerja mengandalkan pendapatan berupa gaji, bonus, dan tunjangan lainnya.
“Kalau dua sumber penghasilan itu melemah, maka pertumbuhan ekonomi akan ikut jatuh. Itu sebabnya kita perlu menguatkan keduanya,” ujar Arsjad menegaskan.
Peringatan untuk Pemerintah dan Dunia Usaha
Arsjad mengingatkan bahwa isu daya beli bukan hanya soal konsumsi, melainkan berkaitan erat dengan stabilitas sosial dan keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Jika masyarakat tidak memiliki uang, maka roda ekonomi nasional akan terganggu karena permintaan menurun drastis.
Ia pun mendorong agar pemerintah, pelaku usaha, dan sektor perbankan mempercepat langkah pemulihan ekonomi melalui kebijakan yang lebih menyentuh masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan fiskal dan stimulus moneter yang tepat sasaran menurutnya perlu diprioritaskan.
Arsjad juga menyebut pentingnya mendorong transformasi ekonomi ke arah yang lebih produktif dan inklusif. Pemerintah harus menyiapkan regulasi yang mempermudah usaha mikro dan kecil berkembang, serta menjamin keterlibatan sektor informal dalam program formalitas dan perlindungan sosial.
“Pemulihan harus berakar dari bawah. Kalau kita hanya fokus pada indikator makro, kita tidak akan bisa menggerakkan ekonomi rakyat,” ucapnya.
Dalam paparannya, ia juga mengajak semua pihak untuk mengembangkan inovasi yang relevan dengan kebutuhan lapangan kerja masa kini. Arsjad menilai, pendidikan vokasi dan pelatihan kerja harus menjadi prioritas nasional untuk menciptakan tenaga kerja yang siap pakai dan mampu bersaing di era digital.
Kondisi ekonomi Indonesia saat ini, menurut Arsjad, menunjukkan bahwa kita tidak bisa hanya bertumpu pada investasi atau ekspor. Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi, justru kini mengalami penurunan signifikan.
Mengakhiri pernyataannya, Arsjad meminta semua pemangku kepentingan untuk tidak menganggap remeh penurunan daya beli masyarakat. Jika tidak segera diatasi, hal ini bisa menjalar menjadi krisis ekonomi yang lebih dalam dan sistemik.
Pemerintah diharapkan mempercepat distribusi bantuan sosial dan memperluas cakupan perlindungan terhadap kelompok rentan. Tanpa langkah nyata dan konkret, pelemahan daya beli akan menjadi bom waktu bagi perekonomian nasional.
Dalam forum yang sama, sejumlah akademisi dan pengusaha turut menyampaikan pandangan bahwa daya beli merupakan indikator paling penting dalam menilai kesehatan ekonomi domestik. Mereka sepakat bahwa kebijakan pemulihan ekonomi perlu menyasar langsung ke kantong masyarakat.
situasi ekonomi Indonesia saat ini menuntut kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat luas. Meningkatkan daya beli dan memperkuat sektor tenaga kerja adalah dua aspek krusial yang tidak bisa ditunda.
Arsjad Rasjid mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sehat tidak cukup hanya berbasis angka statistik, melainkan harus dirasakan secara nyata oleh masyarakat. Diperlukan konsistensi dan sinergi lintas sektor untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan pendapatan.
Upaya memperkuat struktur ekonomi nasional harus dimulai dengan penguatan sektor domestik, terutama pada pelaku usaha kecil dan sektor informal yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Tanpa perbaikan di sektor ini, pertumbuhan ekonomi akan tetap rapuh dan mudah terguncang oleh krisis global.
Masyarakat juga perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pemulihan ekonomi melalui pemberdayaan dan pelatihan kerja. Pendidikan vokasi serta pelatihan berbasis industri dapat menjadi solusi jangka panjang dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Kebijakan jangka pendek seperti stimulus konsumsi atau subsidi harga tetap penting, namun harus diiringi oleh reformasi struktural jangka menengah dan panjang. Pemerintah dan pelaku usaha harus bersinergi dalam menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan. (*)