Damaskus, EKOIN.CO – Ketegangan sektarian yang terus meningkat di Suriah memicu respons keras dari Israel, menyusul pernyataan Presiden Sementara Suriah, Ahmed Al-Sharaa, yang menjanjikan perlindungan bagi etnis Druze dan minoritas lainnya. Namun, Israel menilai janji tersebut tidak berdasar, bahkan menyebut situasi di bawah kepemimpinan Al-Sharaa semakin membahayakan kelompok minoritas.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Bentrokan terbaru di Provinsi Sweida telah menewaskan lebih dari 900 orang sejak Minggu pekan lalu. Pertikaian terjadi antara komunitas Druze dan suku Badui Arab, dan turut melibatkan kekuatan pemerintah, kelompok Islamis, milisi dukungan Israel, serta suku bersenjata lainnya dari berbagai penjuru Suriah.
Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, secara terbuka menanggapi pernyataan Al-Sharaa. “Intinya: Di Suriah yang dikuasai Al-Sharaa, sangat berbahaya menjadi anggota minoritas—Kurdi, Druze, Alawi, atau Kristen,” tulisnya melalui akun X pada Minggu, 20 Juli 2025, sebagaimana dikutip dari BBC.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini bukan baru terjadi, melainkan telah berlangsung selama enam bulan terakhir secara berulang. Pernyataannya menggarisbawahi kecurigaan Israel terhadap kemampuan dan niat Al-Sharaa melindungi kelompok rentan di tengah konflik internal yang kian memanas.
Janji Al-Sharaa Dipertanyakan
Ahmed Al-Sharaa sebelumnya berusaha menenangkan kekhawatiran internasional dengan menyampaikan komitmen untuk melindungi etnis Druze yang berada dalam tekanan. Namun, menurut pihak Israel, realita di lapangan justru menunjukkan ketidakmampuan Al-Sharaa menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat.
Dalam situasi yang berkembang, wilayah Sweida menjadi simbol keterpecahan Suriah, di mana pengaruh kelompok bersenjata terus mendominasi dan menggoyahkan struktur negara. Israel menilai pemerintahan saat ini gagal mencegah kekerasan sektarian yang telah merenggut ratusan nyawa.
BBC melaporkan bahwa banyak komunitas minoritas yang merasa tidak memiliki perlindungan hukum dan militer yang memadai dari pemerintah pusat. Hal ini membuat mereka rentan menjadi target kekerasan oleh kelompok bersenjata maupun pihak-pihak yang memanfaatkan kekacauan politik di Suriah.
Situasi ini menambah kompleksitas konflik yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Meski ISIS telah dikalahkan secara teritorial, berbagai faksi dan kelompok bersenjata terus beroperasi dan saling memperebutkan pengaruh di wilayah perbatasan maupun pedalaman.
Ketegangan Regional dan Dampaknya
Ketegangan antara Israel dan Suriah pun meningkat, dengan pernyataan Saar menjadi refleksi dari kekhawatiran regional terhadap potensi eskalasi lebih lanjut. Sementara itu, sejumlah pemimpin Druze di luar negeri juga menyuarakan keprihatinan atas keselamatan kerabat mereka di Suriah.
Belum ada pernyataan resmi dari Ahmed Al-Sharaa menanggapi kritik Israel tersebut. Namun juru bicara pemerintah Suriah sebelumnya mengklaim bahwa pasukan pemerintah tengah berupaya memediasi dan meredam konflik sektarian di Sweida.
Menurut laporan media lokal Suriah, pertempuran dipicu oleh sengketa wilayah dan hak atas sumber daya air, yang kemudian melebar menjadi bentrokan sektarian. Situasi semakin memburuk ketika kelompok bersenjata dari luar provinsi ikut campur, memicu balas dendam antarkomunitas.
Di tengah konflik tersebut, organisasi kemanusiaan internasional kesulitan mengakses daerah terdampak. Laporan PBB menyebutkan bahwa banyak korban luka tidak mendapat perawatan medis layak karena terbatasnya fasilitas kesehatan yang beroperasi.
Kondisi ini memaksa ribuan warga sipil mengungsi ke daerah yang dianggap lebih aman, meski sebagian wilayah tujuan juga masih berstatus rawan. Ketidakstabilan yang terus berlangsung memperparah krisis pengungsi internal di Suriah.
Survei lapangan yang dilakukan lembaga kemanusiaan menunjukkan peningkatan drastis jumlah anak-anak dan perempuan yang terdampak langsung oleh kekerasan. Banyak anak kehilangan akses terhadap pendidikan dan kebutuhan dasar sehari-hari.
Komunitas internasional pun mendesak dilakukannya penyelidikan menyeluruh terhadap kekerasan yang terjadi. Beberapa negara menyerukan intervensi diplomatik untuk mendorong gencatan senjata lokal demi penyelamatan warga sipil.
Israel, meski bukan pihak langsung dalam konflik tersebut, menyatakan akan terus memantau situasi dan mengambil langkah jika keselamatan komunitas Druze di wilayah perbatasan terancam. Dukungan moral terhadap Druze Suriah menjadi sorotan utama dalam kebijakan luar negeri Israel belakangan ini.
Sejumlah analis menilai konflik di Sweida dapat menjadi titik balik dalam dinamika politik Suriah pasca perang saudara. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan situasi berpotensi membuka ruang bagi intervensi eksternal lebih luas.
Kritik dari Israel terhadap Al-Sharaa dipandang sebagai bagian dari strategi regional untuk menyoroti kegagalan pemerintahan Suriah dalam merespons tantangan etnis dan sektarian. Kondisi ini menambah ketegangan antara kedua negara yang sudah lama bermusuhan secara politik.
Di sisi lain, suara-suara dari komunitas internasional, termasuk PBB, terus menuntut perlindungan lebih baik bagi kaum minoritas di Suriah, dengan penekanan terhadap keharusan menghentikan kekerasan antarkelompok sebelum makin meluas.
konflik sektarian yang menewaskan ratusan warga di Sweida menunjukkan bahwa jaminan perlindungan dari pemerintah Suriah belum bisa diandalkan. Janji Al-Sharaa kepada etnis Druze sejauh ini dinilai belum membawa dampak positif yang nyata.
Ketidakstabilan di Suriah mengancam masa depan minoritas yang telah lama tinggal berdampingan. Perlu ada upaya nyata dari semua pihak, termasuk pemerintah, organisasi internasional, dan masyarakat sipil, untuk memulihkan rasa aman dan kepercayaan.
Tanpa langkah konkret, retorika perlindungan justru menjadi bumerang yang memperparah ketidakpercayaan publik. Minoritas yang merasa terancam bisa berbalik mencari perlindungan pada kelompok bersenjata lain, yang justru memperpanjang siklus kekerasan.
Solusi jangka panjang harus mencakup rekonsiliasi nasional dan perlindungan konstitusional bagi seluruh warga negara, bukan hanya janji politik sesaat. Pemulihan Suriah bergantung pada integrasi dan keberanian melindungi yang lemah di tengah konflik.
Dukungan internasional sangat penting untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Pengawasan terhadap implementasi janji politik seperti yang disampaikan Al-Sharaa harus dilakukan secara ketat oleh badan-badan independen. (*)