Jakarta, EKOIN.CO – Guru Besar Tasawuf asal Turki, Prof Mahmud Erol, mengungkapkan bahwa penjajahan Israel atas Palestina merupakan akibat dari penyimpangan ideologi agama dalam Zionisme. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi terbatas bersama pengurus Institute For Humanitarian Islam (IFHI) yang berlangsung di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 18 Juli 2025.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam kesempatan tersebut, Prof Mahmud menyatakan bahwa penderitaan rakyat Palestina tidak hanya bersumber dari konflik politik semata, tetapi berasal dari pemahaman keliru terhadap ajaran Yudaisme yang kemudian melahirkan ideologi Zionisme. Ia menegaskan bahwa akar dari kekerasan yang dilakukan Israel berasal dari tafsir ideologis yang menyimpang.
“Agresi Israel harus dikaji secara serius oleh para akademisi agama, karena di balik filosofi Zionis terdapat beberapa interpretasi agama,” ujar Prof Mahmud. Ia menyoroti bahwa pemikiran Zionis mengklaim landasan keagamaan, padahal secara substansi bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Menurutnya, keyakinan bahwa hanya orang Yahudi yang layak disebut manusia merupakan bentuk ekstremisme ideologis yang sangat membahayakan. Prof Mahmud menyebut bahwa ideologi seperti ini berpotensi menebar kebencian dan kekerasan lintas bangsa dan agama.
Kritik terhadap Akar Ideologi Zionisme
Dalam pandangannya, Zionisme merupakan proyek politik yang menggunakan simbol dan ajaran agama secara selektif untuk melegitimasi penjajahan. Ia mengungkapkan, para pengusung Zionisme meyakini bahwa semua non-Yahudi harus tunduk, menjadi budak, atau dimusnahkan. “Mereka meyakini bahwa hanya orang Yahudi yang layak disebut manusia. Sisanya harus tunduk, menjadi budak, atau dimusnahkan,” kata Prof Mahmud.
Pola pikir semacam ini, lanjutnya, bukan hanya keliru secara teologis, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap kehidupan berbangsa dan beragama. Ia menilai bahwa dunia harus segera menyadari bahaya laten dari ekspansi ideologi tersebut.
“Kalau dunia membiarkan ini terus berlangsung, maka setelah Palestina, umat Muslim lainnya, umat Kristen, dan semua non-Yahudi akan menjadi target dari ideologi ini,” paparnya.
Pandangan kritis ini disampaikan Prof Mahmud dengan merujuk pada konteks sejarah dan kajian ilmiah. Ia mengajak para cendekiawan Muslim untuk meneliti kembali fondasi ideologi Zionisme agar tidak tertipu oleh dalih keagamaan yang digunakan untuk mendukung agresi politik.
Data Genetik dan Klaim Historis Israel
Selain mengkritisi ideologi Zionisme, Prof Mahmud juga menyinggung data genetika sebagai aspek yang mengungkap ironi dalam narasi historis Israel. Ia mengutip hasil riset seorang profesor silsilah dari Universitas Ibrani yang menyatakan bahwa mayoritas warga Yahudi di Israel tidak memiliki garis keturunan Yahudi murni.
“Profesor itu mengatakan bahwa hanya 10 persen warga Yahudi di Israel yang membawa gen Yahudi. Mayoritasnya berasal dari gen Eropa Timur. Justru gen Ibrani asli ditemukan dalam darah orang Palestina,” ujar Prof Mahmud.
Fakta ini, menurutnya, membantah klaim historis yang kerap digunakan oleh Israel dalam membenarkan pendudukan atas wilayah Palestina. Ia menyebut bahwa justru orang-orang Palestina merupakan keturunan langsung komunitas Ibrani masa lampau.
“Orang Palestina adalah orang-orang yang sangat mulia. Mereka gigih bertahan dan sejatinya merekalah pewaris tanah suci itu. Semoga Allah menolong mereka,” ucap Prof Mahmud dalam doa penutupnya.
Pernyataan tersebut disampaikan dengan penuh empati terhadap perjuangan rakyat Palestina yang selama puluhan tahun hidup dalam tekanan dan kekerasan militer. Ia menekankan pentingnya solidaritas global yang berpijak pada kemanusiaan dan keadilan.
Prof Mahmud juga mengajak komunitas internasional, khususnya kalangan akademisi dan pemuka agama, untuk menelaah ulang narasi-narasi dominan yang digunakan dalam konflik Israel-Palestina. Ia menilai perlunya pendekatan yang lebih holistik dan adil.
Diskusi yang berlangsung di Jakarta ini dihadiri oleh sejumlah tokoh keagamaan dan pemikir Islam dari berbagai lembaga. Forum tersebut diadakan secara tertutup namun menyampaikan pesan-pesan penting bagi dunia internasional.
Menurut pengurus IFHI, pertemuan ini merupakan bagian dari rangkaian kajian global tentang konflik Palestina dan strategi penyelesaian berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian lintas agama.
Pernyataan Prof Mahmud di forum tersebut memperkuat suara-suara yang menentang agresi militer Israel, sekaligus menyerukan pentingnya peninjauan kembali narasi agama yang disalahgunakan untuk kepentingan politik dan penjajahan.
Di akhir acara, Prof Mahmud menegaskan kembali bahwa semua umat manusia memiliki hak hidup dan hak menentukan nasib sendiri, tanpa harus tunduk pada dominasi ideologis yang eksklusif.
Menurutnya, pemahaman keagamaan yang salah tidak hanya berbahaya bagi kelompok yang disasar, tetapi juga merusak kemurnian ajaran agama itu sendiri. Ia menegaskan bahwa agama semestinya menjadi jalan menuju perdamaian, bukan alat justifikasi kekerasan.
Kesimpulan dari pemaparan Prof Mahmud memperlihatkan betapa pentingnya kajian mendalam terhadap konflik Israel-Palestina yang tidak bisa hanya dipandang dari sisi politik atau ekonomi, melainkan juga spiritual dan historis.
Kehadiran Prof Mahmud dalam forum tersebut dinilai memberikan perspektif baru, khususnya dalam membongkar akar ideologis dari kekerasan yang selama ini terjadi di Palestina.
Penting untuk terus membuka ruang diskusi yang jernih, ilmiah, dan berlandaskan kemanusiaan untuk mendorong solusi berkelanjutan dalam penyelesaian konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini.
Dalam konteks global saat ini, pemikiran seperti yang disampaikan Prof Mahmud menjadi pengingat bahwa penyimpangan nilai agama dapat melahirkan tragedi kemanusiaan yang masif, sebagaimana yang dialami oleh rakyat Palestina.
dari pernyataan Prof Mahmud menekankan bahwa konflik di Palestina bukan semata-mata masalah politik, tetapi juga persoalan tafsir keagamaan yang menyimpang. Penjajahan atas nama agama perlu dikritisi agar tidak menjadi pembenaran bagi kekerasan. Kajian akademik dan historis dapat menjadi pintu masuk untuk memahami motif di balik agresi Israel.
Penting bagi dunia untuk membuka mata terhadap manipulasi simbol keagamaan dalam membenarkan penjajahan. Dukungan terhadap rakyat Palestina tidak cukup hanya dalam bentuk bantuan, tetapi juga pemahaman yang mendalam terhadap latar belakang konflik. Peran pemikir dan tokoh agama sangat vital dalam membentuk opini publik yang adil.
Pendidikan dan kajian berbasis nilai kemanusiaan perlu dikembangkan untuk melawan ideologi yang eksklusif dan diskriminatif. Dunia internasional memiliki tanggung jawab moral untuk membela hak-hak rakyat Palestina yang terampas. Tanpa kesadaran kolektif, penderitaan akan terus berulang dalam bentuk yang lebih sistematis.
Diskusi seperti yang dilakukan Prof Mahmud perlu terus digelar di berbagai belahan dunia. Melibatkan akademisi lintas agama dapat membangun jembatan pemahaman dan solidaritas. Dengan pendekatan ini, harapan akan terciptanya perdamaian menjadi lebih nyata dan bukan sekadar retorika diplomatik.
bagi masyarakat internasional adalah untuk tidak membiarkan ideologi kebencian berkembang tanpa kontrol. Pemerintah dan organisasi internasional harus mengevaluasi ulang pendekatan terhadap konflik Palestina-Israel. Pelibatan tokoh agama dan akademisi dalam diplomasi dapat membuka ruang solusi yang lebih damai.
Penting untuk membangun narasi tandingan terhadap propaganda yang menyesatkan. Narasi ini harus berdasarkan fakta sejarah, riset ilmiah, dan nilai universal kemanusiaan. Peran media juga penting dalam menyuarakan realitas di lapangan secara jujur dan seimbang.
Solusi jangka panjang perlu dibangun melalui jalur pendidikan dan kesadaran masyarakat. Edukasi terhadap generasi muda mengenai sejarah dan nilai-nilai toleransi sangat krusial. Tanpa upaya ini, ideologi eksklusif dapat tumbuh dan mengakar kembali di masa depan.
Komunitas global harus meningkatkan tekanan diplomatik kepada Israel untuk menghentikan segala bentuk penjajahan. Aksi solidaritas internasional yang konsisten dan terkoordinasi sangat dibutuhkan saat ini. Dalam situasi yang terus memburuk, suara-suara kebenaran seperti Prof Mahmud perlu disebarluaskan lebih luas lagi. (*)