Jakarta, EKOIN.CO – Pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli menyampaikan kritik tajam atas kebijakan pengiriman 10.000 ton beras dari Indonesia ke Palestina. Menurutnya, langkah tersebut berpotensi menjadi bentuk empati semu, apalagi dilakukan di tengah krisis pangan yang masih membelenggu jutaan warga dalam negeri.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta pada Sabtu, 19 Juli 2025, Pieter menyebut bahwa tindakan tersebut mencerminkan kegagalan dalam menetapkan prioritas nasional. Ia menyoroti bahwa pemimpin tidak seharusnya diukur dari citra global, melainkan dari kepedulian nyata terhadap kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Solidaritas Dipertanyakan di Tengah Krisis Pangan
Pieter menekankan bahwa penderitaan rakyat Palestina memang memprihatinkan dan patut mendapat empati. Namun ia mempertanyakan kelayakan Indonesia untuk berbagi, ketika kondisi di dalam negeri sendiri masih memprihatinkan. Menurutnya, bantuan kemanusiaan semestinya tidak dilakukan dengan mengabaikan kebutuhan domestik yang mendesak.
“Apakah bangsa ini benar-benar dalam posisi mampu berbagi, ketika perut sendiri belum kenyang?” ujarnya. Pieter merujuk pada data yang menunjukkan lebih dari 20 juta warga Indonesia masih mengalami kerawanan pangan. Ia juga menyebut bahwa angka stunting di Papua, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian Kalimantan masih tinggi.
Dalam pandangannya, rakyat Indonesia tidak menolak pemberian bantuan kepada Palestina. Namun mereka mempertanyakan logika kebijakan yang lebih mengedepankan pencitraan di mata dunia, dibanding pemenuhan kebutuhan rakyatnya sendiri yang masih lapar.
“Ini bukan soal menolak membantu, tetapi soal keadilan dalam prioritas. Rakyat menuntut bukti nyata bahwa pemimpinnya berpihak kepada mereka terlebih dahulu,” kata Pieter.
Ketimpangan Kebijakan dan Ancaman Ketahanan Pangan
Lebih jauh, Pieter mengungkapkan bahwa pengiriman bantuan tersebut dilakukan di tengah menurunnya cadangan beras nasional. Ia menyebut bahwa awal tahun ini, stok beras pemerintah sempat berada di bawah ambang batas aman, akibat gangguan iklim dan gagal panen di sejumlah wilayah.
Menurutnya, keputusan mengirim beras ke luar negeri bukan hanya soal logistik, tetapi menunjukkan keberpihakan pemimpin dalam menentukan arah kebijakan. Hal itu makin terasa getir, saat rakyat menyaksikan para pejabat sibuk dalam panggung diplomatik internasional, sementara kondisi domestik terabaikan.
“Ketimpangan kehidupan masyarakat Indonesia jarang tersentuh kebijakan politik negara,” tegas Pieter. Ia menambahkan bahwa gaya hidup hedonis di kalangan elite turut memperlebar jurang antara rakyat dan penguasa.
Mengutip laporan SMERU Research Institute, Pieter juga mengungkap bahwa ketimpangan akses pangan dan gizi di Indonesia justru meningkat sejak 2022. Faktor pandemi serta lonjakan harga global memperburuk kondisi yang sudah rapuh.
Pieter menyarankan agar empati terhadap Palestina tetap disalurkan, namun dalam bentuk lain yang lebih proporsional. Ia mencontohkan dukungan diplomatik, bantuan medis, atau peran aktif dalam forum perdamaian sebagai alternatif yang tetap bermakna.
Ia juga mengingatkan bahwa Prabowo Subianto, sebagai Presiden, memiliki peluang besar mencatat sejarah sebagai pemimpin yang berpihak kepada rakyat kecil. Namun langkah awalnya harus menunjukkan bahwa kepentingan rakyat Indonesia menjadi yang utama.
“Tangan yang terulur ke luar negeri akan lebih bermakna bila tangan yang sama juga cepat menolong dusun-dusun miskin di pelosok negeri,” ujar Pieter.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu juga menekankan pentingnya keberpihakan konkret dalam kebijakan domestik. Ia mengingatkan bahwa konstitusi menugaskan negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan.
Pieter tidak mempersoalkan bantuan sebagai bentuk diplomasi kemanusiaan. Namun menurutnya, kekuatan moral Indonesia di mata dunia hanya bisa kokoh bila berpijak pada keadilan dan kepekaan terhadap masalah dalam negeri.
“Empati akan kehilangan makna jika hanya menjadi retorika diplomatik yang tidak menyentuh realitas rakyat sendiri,” katanya mengakhiri.
Sementara itu, Kementerian Pertanian telah secara resmi melepas pengiriman 10.000 ton beras ke Palestina pada Senin, 7 Juli 2025. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyerahkan langsung bantuan tersebut kepada Menteri Pertanian Palestina, Rezq Basheer-Salimia.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI di hari yang sama, Amran menyebut bahwa pengiriman bantuan pangan tersebut merupakan arahan langsung Presiden Prabowo Subianto menjelang keberangkatannya ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 di Brasil.
“Empati terhadap Palestina adalah hal yang patut dihargai. Namun publik juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan di dalam negeri,” kata Amran.
Kebijakan ini pun memunculkan perdebatan publik. Banyak pihak mempertanyakan apakah pengiriman beras tersebut mencerminkan kondisi surplus pangan atau hanya sebatas simbol diplomasi politik luar negeri.
Data dari Perum Bulog menunjukkan bahwa pada Februari 2025, cadangan beras pemerintah mengalami penurunan signifikan akibat perubahan iklim. Hal ini menambah kekhawatiran bahwa pengiriman ke luar negeri justru berisiko memperburuk ketahanan pangan nasional.
Dalam konteks ini, kebijakan pengiriman 10.000 ton beras ke Palestina bukan hanya soal hubungan luar negeri, tetapi juga menjadi indikator dari bagaimana pemimpin memprioritaskan rakyatnya sendiri.
Pemerintah diminta untuk lebih transparan dalam menentukan arah kebijakan bantuan luar negeri, agar tidak menimbulkan kesan bahwa kepentingan domestik dikorbankan demi pencitraan internasional.
kritik Pieter menjadi refleksi mendalam bahwa diplomasi dan empati perlu selaras dengan kondisi riil dalam negeri. Kepekaan terhadap penderitaan rakyat sendiri adalah pondasi utama dari setiap kebijakan luar negeri yang etis dan bermakna.
Masyarakat Indonesia membutuhkan komitmen nyata dari pemerintah untuk menanggulangi krisis pangan. Bantuan ke luar negeri harus didasari pada kapasitas dan kelayakan, bukan sekadar tuntutan simbolik atau popularitas.
Sebelum berbagi ke luar, pemerintah perlu memastikan bahwa akses pangan, gizi anak, dan ketahanan keluarga miskin di berbagai daerah sudah terpenuhi secara layak.
Pemerintah juga diharapkan mengedepankan keadilan dalam membuat keputusan, agar rakyat tidak merasa tertinggal di negerinya sendiri. Kebijakan harus membumi, bukan hanya menjulang di forum internasional.
Pemimpin yang berpihak kepada rakyatnya akan lebih dihormati di dunia, karena kekuatan moral yang sejati tumbuh dari keberanian untuk merawat rumah sendiri sebelum membantu tetangga.(*)