JAKARTA EKOIN.CO – Dugaan hilangnya aset negara senilai Rp17.450 triliun mencuat setelah pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyoroti ketidaksesuaian pencatatan kekayaan negara. Dalam Sidang Kabinet pada 6 Mei 2025, Prabowo menyebut banyak aset negara yang tidak tercatat, bahkan mengindikasikan adanya birokrat yang menyembunyikan aset tersebut.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sementara itu, laporan Sri Mulyani pada Juni 2025 menyatakan kekayaan negara mengalami kenaikan hingga Rp13.692 triliun melalui optimalisasi aset BUMN dan sumber daya alam. Namun, Indonesian Audit Watch (IAW) menilai pernyataan kedua tokoh ini merupakan sinyal kuat atas rencana pembongkaran kontradiksi dalam pengelolaan kekayaan negara.
Indikasi Hilangnya Aset Negara Secara Struktural
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menjelaskan bahwa jika dua pernyataan tersebut dianalisis bersama, maka terlihat adanya sinergi antara kebijakan fiskal dan arah politik untuk membuka skandal lama pencatatan aset negara. Menurutnya, hal ini bukan hanya optimisme, tetapi strategi untuk mengungkap kerugian fiskal besar-besaran.
Temuan IAW mengungkap bahwa terdapat sekitar 1.190 hektare lahan strategis yang semula dibeli pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kini tidak lagi tercatat sebagai milik negara. Wilayah tersebut meliputi Senayan, Gelora Bung Karno (GBK), SCBD, Halim, Menteng, Tebet, Cawang, dan Kemayoran.
Iskandar menuturkan bahwa pembelian tanah-tanah itu dilakukan menggunakan dana APBN lewat Bank Sukapura (sekarang Bank DKI) dan lembaga KUPAG. Namun, audit BPK tahun 2022–2023 dan verifikasi langsung oleh IAW hanya menunjukkan 18 persen dari lahan tersebut yang masih tercatat sebagai Barang Milik Negara (BMN).
Sebaliknya, sebagian besar lahan strategis tersebut kini telah beralih ke pihak swasta dan dimanfaatkan untuk pembangunan komersial seperti apartemen, hotel, gedung perkantoran, hingga kawasan bisnis elit tanpa proses hukum pelepasan aset negara yang jelas.
Potensi Kerugian Negara dan Desakan Audit Forensik
Menurut Iskandar, aset-aset strategis seperti GBK dan SCBD menghasilkan pendapatan ratusan miliar hingga triliunan rupiah, namun tidak tercatat sebagai kekayaan negara. Ia menyebut ini sebagai bentuk penggelapan struktural yang sangat merugikan keuangan nasional.
Temuan IAW juga dinilai sejalan dengan audit BPK, yang sebelumnya mengungkapkan ribuan hektare tanah negara tidak tercatat. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang konsistensi dalam pencatatan dan perlindungan aset negara.
Lebih lanjut, Iskandar menyoroti ironi di balik laporan kenaikan kekayaan negara oleh Menteri Keuangan. Di saat Sri Mulyani mengklaim kenaikan sebesar Rp1.000 triliun, nilai kerugian akibat hilangnya aset justru mencapai Rp17.450 triliun.
Menurutnya, Presiden dan Menkeu sudah memperhitungkan kontradiksi tersebut, dan ini menjadi bagian dari rencana nasional untuk membongkar pengelolaan aset yang tidak transparan dan penuh celah hukum. Iskandar mengajak masyarakat mengawasi proses ini agar tidak terjadi lagi penghilangan aset negara di masa mendatang.
“Aset negara itu adalah milik rakyat. Jika lenyap, maka itu sama dengan hak rakyat yang dirampok,” tegas Iskandar dalam pernyataannya pada Rabu, 16 Juli 2025.
Ia juga menekankan perlunya audit forensik secara nasional. Menurutnya, langkah tersebut bukan hanya menyangkut keuangan negara, tapi juga menyentuh dimensi sejarah, moral, dan tanggung jawab konstitusional terhadap harta negara.
Audit forensik ini, katanya, akan menjawab pertanyaan publik dan memastikan bahwa tidak ada aset yang dikuasai korporasi secara ilegal tanpa proses hukum. Ia mengajak semua pihak untuk turut mendukung transparansi dan pengembalian aset milik negara kepada rakyat.
Dengan temuan ini, masyarakat diharapkan mulai memahami pentingnya akuntabilitas dan pengawasan atas pengelolaan kekayaan negara. IAW juga menilai bahwa saat ini merupakan momentum untuk memperbaiki sistem pencatatan nasional secara menyeluruh.
Dukungan publik dan keterbukaan dari pemerintah menjadi kunci keberhasilan investigasi ini. Iskandar mengingatkan bahwa kasus serupa bisa terus terjadi jika tidak ditangani serius dengan langkah hukum dan kebijakan korektif.
Kehilangan aset negara dalam skala sebesar ini juga menimbulkan implikasi serius bagi fiskal dan pembangunan nasional. Pemerintah diminta transparan dan tegas terhadap siapa pun yang terlibat dalam penghilangan atau penyalahgunaan aset.
Langkah korektif yang tengah disiapkan, baik oleh Presiden maupun Menteri Keuangan, dinilai harus dilakukan secara menyeluruh, tidak sekadar administratif, tapi menyentuh ranah hukum dan pemulihan aset.
Temuan IAW ini menjadi peringatan keras akan lemahnya sistem kontrol negara terhadap kekayaannya sendiri. Pemerintah perlu meninjau ulang seluruh proses pencatatan aset agar tidak lagi terjadi kebocoran.
Sebagai lembaga pengawas independen, IAW menyatakan akan terus melakukan pemantauan dan pelaporan terhadap indikasi penyelewengan aset. Mereka juga akan bersinergi dengan lembaga negara lain untuk mempercepat proses penegakan hukum.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat sistem digitalisasi nasional atas seluruh aset negara agar lebih transparan dan dapat diaudit setiap saat oleh publik maupun auditor negara.
Perlunya komisi independen aset negara juga mengemuka sebagai opsi pengawasan yang lebih ketat. Dengan demikian, kekayaan negara bisa benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir elite.
masyarakat harus diberikan edukasi tentang hak atas kekayaan negara. Kesadaran publik akan memicu kontrol sosial yang kuat terhadap birokrasi.
Kejelasan dan keterbukaan pemerintah dalam menindaklanjuti kasus ini akan menjadi tolok ukur keberhasilan reformasi pengelolaan aset negara. Pemulihan aset yang hilang harus menjadi prioritas kebijakan fiskal mendatang.
Transparansi pencatatan dan proses hukum bagi pihak yang menguasai aset negara secara ilegal akan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintahan saat ini.
Pemerintah dan aparat hukum diminta segera menindaklanjuti temuan ini secara tegas agar tidak menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi.
Dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat sipil dan media, penting untuk mengawal proses ini secara menyeluruh. Hanya dengan cara itu keadilan fiskal dan konstitusional dapat benar-benar terwujud. (*)