JAKARTA EKOIN.CO – Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa sepakat mempercepat penandatanganan perjanjian perdagangan bebas Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Kesepakatan ini membuka peluang besar bagi produk Indonesia untuk masuk ke pasar Eropa tanpa beban tarif. Meski demikian, para ahli mengingatkan bahwa tantangan sebenarnya ada pada hambatan non-tarif yang sangat kompleks dan ketat dari Uni Eropa.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Menurut peneliti Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, Uni Eropa merupakan mitra dagang strategis dengan pasar yang memiliki daya beli tinggi. Namun, pasar ini sangat sensitif terhadap isu keberlanjutan dan standar mutu yang ketat. Hal ini berarti, meskipun tarif dihapuskan, hambatan lain tetap dapat menyulitkan produk ekspor Indonesia.
Yusuf menyebut produk unggulan Indonesia seperti kelapa sawit, karet, perikanan, furnitur, kakao, dan kopi masih berhadapan dengan tantangan dari standar teknis dan sanitasi fitosanitasi (TBT dan SPS), serta regulasi lingkungan seperti Renewable Energy Directive II (RED II) dan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Ia mengingatkan bahwa pembebasan tarif belum tentu berdampak maksimal jika tidak diiringi dengan strategi menangani hambatan non-tarif. “Banyak produk ekspor Indonesia meskipun dari sisi tarif nantinya bisa bebas masuk, masih akan berhadapan dengan tantangan besar dalam bentuk Non-Tariff Measures (NTM),” jelas Yusuf, Minggu (13/7).
Hambatan Non-Tarif Jadi Sorotan Utama
Yusuf menilai pentingnya pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa teknis atau forum harmonisasi regulasi antara kedua pihak. Langkah ini, menurutnya, akan mengurangi beban teknis dan administratif yang bisa menghambat laju ekspor Indonesia.
“Harapannya, dengan disepakatinya IEU-CEPA, kita bisa mendorong terciptanya mekanisme harmonisasi regulasi atau minimal pembentukan forum penyelesaian sengketa teknis yang bisa menekan efek pembatasan non-tarif ini,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar pemerintah Indonesia aktif mengawal implementasi IEU-CEPA agar tidak sekadar simbolis. Jika hambatan struktural tetap dipertahankan, maka keuntungan dari kesepakatan perdagangan ini bisa tidak maksimal.
Langkah tersebut menurut Yusuf penting untuk melindungi kepentingan pelaku usaha dalam negeri yang selama ini terkendala oleh berbagai persyaratan teknis dari Uni Eropa. Koordinasi lintas kementerian dan peningkatan kapasitas industri domestik juga harus menjadi bagian dari strategi menyeluruh.
Kementerian Perdagangan dan instansi terkait diharapkan bisa memperkuat posisi tawar dalam negosiasi lanjutan serta mengusulkan pengakuan atas standar nasional Indonesia dalam produk pertanian dan hasil bumi.
Isu Geopolitik dan Arah Diplomasi Ekonomi
Dalam kesempatan yang sama, Yusuf juga menyoroti sisi geopolitik dari posisi Indonesia yang kini mulai menjalin kedekatan dengan negara-negara BRICS. Menurutnya, hal itu bisa menjadi strategi diversifikasi mitra ekonomi dalam menghadapi ketidakpastian global.
“Masuknya Indonesia dalam orbit kerja sama BRICS, terutama dengan Tiongkok dan Rusia sebagai anggotanya, bisa dimaknai sebagai upaya diversifikasi mitra ekonomi dan mencari alternatif pembiayaan serta pasar baru,” ujarnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa pendekatan ini bisa menimbulkan persepsi negatif dari mitra-mitra dagang Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa. Hal itu berpotensi memengaruhi keputusan kebijakan tarif dan dukungan teknologi dari negara-negara tersebut.
Kedekatan Indonesia dengan BRICS bisa dianggap sebagai sinyal geopolitik, yang pada akhirnya memperumit hubungan dagang. Oleh karena itu, pemerintah perlu menekankan bahwa partisipasi Indonesia bersifat pragmatis dan ekonomi semata, bukan ideologis.
Yusuf menegaskan bahwa Indonesia tetap membutuhkan akses ke teknologi bersih dan pendanaan hijau dari negara-negara Barat. Untuk itu, menjaga hubungan yang seimbang dengan semua mitra global menjadi sangat penting.
Ia juga menyatakan bahwa Amerika Serikat masih mempertimbangkan berbagai faktor dalam menentukan tarif terhadap Indonesia, termasuk status Indonesia di BRICS. Karena itu, kehati-hatian dalam merancang langkah diplomasi ekonomi harus dikedepankan.
Daya tawar Indonesia, menurut Yusuf, masih cukup kuat. Pasar domestik yang besar dan posisi surplus Amerika Serikat dalam neraca perdagangan jasa dengan Indonesia menjadi modal penting dalam negosiasi.
Yusuf berharap pemerintah mampu menjalankan strategi diplomasi ekonomi yang tepat, termasuk dalam menyikapi hubungan dengan negara-negara BRICS, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi perdagangan dan investasi Indonesia ke depan.
Penandatanganan IEU-CEPA memang menjadi langkah besar bagi Indonesia dalam meningkatkan akses pasar ke Eropa. Namun, keberhasilan jangka panjang dari kesepakatan ini sangat tergantung pada kemampuan Indonesia dalam menavigasi tantangan regulatif Uni Eropa yang ketat.
Dalam konteks global yang makin kompetitif, kemampuan pemerintah dan pelaku usaha Indonesia dalam memenuhi standar internasional menjadi faktor penentu dalam meraih manfaat dari perjanjian ini.
Maka dari itu, sinergi antara sektor swasta, regulator, dan perwakilan diplomatik sangat diperlukan untuk memastikan bahwa IEU-CEPA benar-benar membawa manfaat ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
percepatan penandatanganan IEU-CEPA membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperluas ekspor ke pasar Eropa. Namun, peluang ini harus diikuti dengan strategi yang matang dalam menghadapi hambatan non-tarif. Tanpa mekanisme penyelesaian sengketa teknis dan harmonisasi regulasi, manfaat dari penghapusan tarif bisa jadi tidak maksimal bagi pelaku usaha.
Selain itu, upaya diversifikasi mitra ekonomi lewat BRICS memang menjanjikan, tetapi harus dijalankan dengan komunikasi diplomatik yang tepat agar tidak menimbulkan resistensi dari mitra Barat. Pemerintah perlu memastikan bahwa partisipasi Indonesia di BRICS bersifat pragmatis dan tidak mengganggu akses terhadap teknologi dan pendanaan dari negara-negara maju.
Keseimbangan antara kepentingan geopolitik dan ekonomi harus dikelola dengan cermat agar tidak mengganggu stabilitas hubungan perdagangan internasional. Langkah-langkah ini penting untuk menjaga momentum pertumbuhan ekspor dan keberlanjutan sektor industri nasional.
Pemerintah juga perlu memperkuat kapasitas domestik agar mampu memenuhi standar lingkungan dan keberlanjutan yang ditetapkan Uni Eropa. Pembinaan teknis, investasi hijau, serta insentif industri hijau harus menjadi prioritas dalam beberapa tahun ke depan.
Kombinasi dari diplomasi ekonomi, kesiapan regulatif, dan peningkatan daya saing nasional akan menentukan sejauh mana Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat dari kesepakatan IEU-CEPA. Dengan demikian, kerja sama internasional ini dapat benar-benar mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia.(*)
.