Jakarta, ekoin.co – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis kepada tiga terdakwa kasus korupsi penilapan pengembalian barang bukti investasi bodong Robot Trading Fahrenheit.
Jaksa Azam Akhmad Akhsya dijatuhi hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan. Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut 4 tahun. Putusan itu dibacakan dan diketok oleh Ketua Majelis Hakim Sunoto di persidangan.
Adapun dua terdakwa lain, yaitu advokat Oktavianus Setiawan dan advokat Bonifasius Gunung, masing-masing divonis 4 tahun 6 bulan dan 4 tahun penjara, dan membayar denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Dalam amar putusannya, Majelis hakim berpendapat bahwa dakwaan JPU yang paling tepat adalah Pasal 12 huruf e Undang-undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), bukan Pasal 5 ayat (2) sebagaimana tuntutan JPU.
Azam terbukti melanggar Pasal 12 huruf e UU Tipikor tentang pegawai negeri yang memaksa seseorang memberikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan. Sementara Oktavianus dan Bonifasius terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor.
Kerugian Korban Rp 17,8 Miliar
Majelis Hakim menyatakan terdakwa Azam selaku Jaksa Eksekutor menerima total Rp 11,7 miliar dari tiga kuasa hukum korban. Rinciannya Rp 3 miliar dari Bonifasius Gunung, Rp 8,5 miliar dari Oktavianus Setiawan, dan Rp 200 juta dari Brian Erick First Anggitya.
Perbuatan tersebut merugikan 912 korban Paguyuban SIF sebesar Rp 17,8 miliar akibat manipulasi pengembalian barang bukti.
Azam menciptakan 137 “Kelompok Bali” fiktif yang tidak ada dalam berkas perkara. Dari total Rp 53,7 miliar yang seharusnya untuk Paguyuban SIF, dipecah menjadi Rp 35,9 miliar untuk SIF dan Rp 17,8 miliar untuk kelompok Bali yang diduga fiktif.
Uang hasil korupsi digunakan Azam untuk keperluan pribadi asuransi Rp 2 miliar, deposito Rp 2 miliar, pembelian properti Rp 3 miliar, dan umroh serta keperluan lain Rp 1 miliar.
Majelis hakim menilai perbuatan Azam dilakukan sistematis selama 16 bulan (Agustus 2022-Desember 2023) dengan modus:
1. Membuat BA-20 ganda untuk menyembunyikan aliran dana
2. Menggunakan rekening Andi Rianto (pegawai honor Kejari Jakarta Barat) sebagai kamuflase
3. Menaikkan permintaan “uang pengertian” dari Rp 800 juta menjadi Rp 1 miliar.
Terdakwa tidak sekadar menerima gratifikasi, melainkan secara aktif memaksa para kuasa korban memberikan uang.
Majelis hakim menetapkan pengembalian aset kepada korban:
− Uang tunai dan polis asuransi Rp 8,7 miliar dikembalikan (Rp 200 juta untuk Brian Erick, Rp 8,5 miliar untuk Paguyuban SIF)
− Tanah 170 m² beserta bangunan atas nama istri Azam dilelang, hasilnya untuk korban.
− Dua handphone dirampas negara
− Dokumen-dokumen tetap dalam berkas perkara. ()