Tangerang Selatan, EKOIN.CO – Puluhan warga RW 10, Pamulang Barat, Tangerang Selatan, menyampaikan kekecewaannya terhadap sistem seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di SMA Negeri 6 dan SMP Negeri 4 Tangsel. Mereka menilai jalur domisili belum mengakomodasi calon siswa dari lingkungan mereka, meskipun telah dilakukan tiga kali dialog dengan pihak sekolah.
Aksi protes dilakukan dengan menutup akses Jalan Ceger Raya pada Kamis malam, 3 Juli 2025. Penutupan jalan dilakukan secara spontan sebagai bentuk luapan kekecewaan warga karena sembilan anak dari lingkungan tersebut gagal diterima di sekolah negeri terdekat.
Menurut keterangan warga, jalur domisili seharusnya menjadi peluang utama bagi anak-anak dari sekitar sekolah. Namun, realisasi sistem tersebut belum sesuai harapan. Warga menyebutkan bahwa mereka tinggal dalam radius dekat dari kedua sekolah, tetapi tetap tidak mendapat kuota.
Warga Nilai Dialog Tidak Dihiraukan
Salah satu tokoh warga RW 10, Pamulang Barat, mengungkapkan bahwa perwakilan warga telah tiga kali melakukan pertemuan resmi dengan pihak sekolah. Namun, hasilnya belum memberikan solusi yang konkret bagi anak-anak di wilayah mereka.
“Kami sudah tiga kali berdialog dengan sekolah mengenai jalur domisili, tapi tidak ada hasilnya. Kami kecewa karena sembilan anak kami tidak diterima, padahal rumah kami dekat sekali dengan sekolah,” ungkap salah satu warga, seperti dilansir dari Kompas.com.
Warga juga mengkritisi kurangnya transparansi dan komunikasi dari sekolah maupun pihak terkait. Mereka merasa seolah tidak mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasi, meski telah berusaha menempuh jalur yang sesuai.
Menurut informasi dari lapangan, warga menutup jalan menggunakan kursi dan kendaraan roda dua untuk memblokade jalur. Aksi ini dilakukan selama beberapa jam sebelum akhirnya dibuka kembali setelah mediasi.
Penutupan Jalan Ceger Raya sempat mengganggu lalu lintas di sekitar wilayah Pamulang Barat. Beberapa pengendara terpaksa memutar arah untuk mencari jalur alternatif. Pihak kepolisian turun tangan untuk memastikan situasi tetap kondusif.
Jalur Domisili Jadi Sumber Masalah
Kebijakan zonasi dalam sistem SPMB memang telah lama menuai kontroversi. Meski bertujuan untuk mendekatkan akses pendidikan kepada masyarakat sekitar, praktik di lapangan seringkali menimbulkan konflik dan kekecewaan.
Dalam kasus ini, warga RW 10 menilai kriteria domisili belum sepenuhnya dipenuhi oleh sekolah dalam penentuan kuota penerimaan. Mereka berharap sistem zonasi dievaluasi agar benar-benar memprioritaskan warga sekitar.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak SMA Negeri 6 dan SMP Negeri 4 Tangsel. Warga masih menunggu tanggapan dan solusi dari pihak sekolah maupun Dinas Pendidikan.
Sejumlah orang tua menyampaikan bahwa anak-anak mereka harus mencari sekolah swasta dengan biaya yang tidak sedikit karena gagal masuk ke sekolah negeri yang lokasinya sangat dekat dari rumah.
Warga berharap pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan Kota Tangerang Selatan memberikan penjelasan terbuka mengenai seleksi jalur domisili dan menyusun perbaikan kebijakan ke depan.
“Kalau memang ada sistem zonasi, kami ingin anak-anak kami yang tinggal dekat sekolah diakomodasi dulu. Jangan sampai yang rumahnya jauh justru diterima lebih dulu,” tambah salah satu warga.
Pemerintah kota diminta segera menindaklanjuti keluhan tersebut agar tidak memicu ketegangan sosial yang lebih luas. Diperlukan komunikasi terbuka antara warga, sekolah, dan pemerintah.
Masyarakat menegaskan bahwa aksi tersebut bukan bentuk anarkisme, melainkan desakan agar suara mereka didengar. Mereka berjanji tetap menjunjung kedamaian, tetapi menuntut keadilan.
Beberapa tokoh masyarakat dan RT setempat telah berinisiatif memfasilitasi dialog lanjutan yang lebih intensif agar masalah ini tidak berlarut-larut hingga merugikan generasi muda.
Dinas Pendidikan Kota Tangsel diharapkan hadir langsung menemui warga guna memberi klarifikasi, serta menjelaskan mekanisme penerimaan yang lebih transparan dan adil.
Berbagai pihak menyarankan agar Pemkot Tangerang Selatan melakukan audit jalur domisili di kedua sekolah untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran kebijakan zonasi.
Hingga Jumat pagi, warga masih berkumpul membahas tindak lanjut aksi mereka. Mereka juga menyusun surat terbuka kepada wali kota dan DPRD setempat guna mencari solusi yang lebih luas.
Aksi tersebut menjadi simbol kegelisahan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang dianggap belum berpihak pada warga sekitar. Mereka berharap kejadian ini tidak berulang di tahun-tahun mendatang.
Pihak sekolah diminta tidak menutup ruang komunikasi agar warga dapat menyampaikan aspirasi secara tertib tanpa harus menempuh aksi penutupan jalan lagi.
Warga juga berharap agar jalur afirmasi dan domisili benar-benar diprioritaskan untuk mereka yang tinggal dalam radius terdekat, bukan hanya sekadar formalitas di atas kertas.
Pemerintah provinsi Banten sebagai pihak yang menaungi SMA Negeri 6 juga diminta ikut turun tangan agar kebijakan zonasi berlaku adil di seluruh kota/kabupaten, termasuk di Tangerang Selatan.
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v
Sebagai kesimpulan, insiden penutupan jalan oleh warga RW 10 Pamulang Barat menunjukkan adanya ketimpangan antara kebijakan dan implementasi sistem zonasi di lapangan. Warga yang merasa terpinggirkan menuntut perlakuan adil terhadap hak pendidikan anak-anak mereka.
Pemerintah kota perlu segera menanggapi aspirasi warga secara langsung dan transparan untuk mencegah konflik sosial yang lebih besar. Komunikasi dua arah antara pihak sekolah dan warga menjadi kunci dalam penyelesaian masalah ini.
Ke depan, kebijakan zonasi harus ditinjau ulang agar benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar sekolah, terutama di daerah padat seperti Tangerang Selatan. Penyesuaian sistem berbasis data kependudukan bisa menjadi solusi jangka panjang.
Pihak sekolah juga perlu membangun hubungan baik dengan lingkungan sekitar melalui forum komunikasi rutin agar tidak terjadi kesalahpahaman. Penjelasan berkala mengenai prosedur penerimaan dapat mengurangi ketegangan.
Warga diharapkan tetap menjaga ketertiban dan mengutamakan jalur mediasi dalam menyuarakan tuntutan. Aksi damai bisa menjadi pendorong perubahan jika dilakukan dengan tertib dan dilandasi semangat kebersamaan. (*)