Jakarta, EKOIN.CO – Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi izin impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa, 1 Juli 2025.
Dalam persidangan kali ini, jaksa penuntut umum menyoroti keputusan Tom Lembong yang menandatangani langsung sejumlah izin impor meski kewenangannya telah didelegasikan ke pejabat teknis.
Jaksa mempertanyakan dasar tindakan Tom dalam meneken sendiri dokumen persetujuan impor gula. Padahal, dalam aturan internal Kementerian Perdagangan, wewenang tersebut telah diserahkan kepada Direktur Jenderal yang membidangi urusan perdagangan.
Ketika diminta menjelaskan alasan di balik penandatanganan izin impor secara langsung, Tom Lembong menyatakan bahwa dirinya tidak dapat mengingat dengan jelas motif ataupun kondisi yang melatarbelakangi tindakan tersebut.
Pernyataan itu disampaikan saat jaksa mendalami 21 dokumen Persetujuan Impor (PI) yang dikeluarkan semasa dirinya menjabat Menteri Perdagangan dari Agustus 2015 hingga Juli 2016. Tom mengaku jumlah tersebut berdasarkan hasil pengecekan tim hukumnya.
“Saya tidak ingat jumlah pastinya yang saya tanda tangani sendiri,” ujar Tom di hadapan majelis hakim saat memberikan keterangan sebagai terdakwa.
Dari total 21 izin impor yang telah diterbitkan, jaksa mencatat sedikitnya tiga dokumen ditandatangani langsung oleh Tom. Salah satunya adalah izin impor untuk PT Angels Products.
Fakta tersebut menimbulkan pertanyaan karena seharusnya seluruh dokumen telah ditangani oleh pejabat yang menerima mandat.
Tom kembali menegaskan bahwa dirinya tidak ingat alasan atau pertimbangan khusus mengapa ia tetap menandatangani dokumen tersebut secara pribadi, di luar prosedur yang berlaku.
“Bahkan hingga saat ini saya masih belum mengingat jelas parameternya,” ucap Tom Lembong menjawab pertanyaan jaksa di persidangan.
Perilaku tersebut menjadi sorotan utama jaksa yang menganggap adanya pelanggaran administratif, mengingat pejabat setingkat menteri tidak semestinya melangkahi kebijakan delegasi tanpa dasar hukum yang kuat.
Dalam surat dakwaan, jaksa menyebutkan bahwa tindakan tersebut berkontribusi pada terjadinya kerugian negara dalam jumlah signifikan akibat kebijakan impor tanpa koordinasi menyeluruh dengan instansi terkait.
Dugaan kerugian negara disebutkan mencapai angka Rp578 miliar berdasarkan hasil perhitungan auditor yang dilibatkan dalam penyidikan.
Di momen berbeda dalam sidang yang sama, Tom Lembong memperagakan jenis-jenis gula yang menjadi objek perkara. Ia membawa serta tiga contoh: gula kristal putih (GKP), gula kristal mentah (GKM), dan gula rafinasi (GKR).
Untuk membuktikan bahwa produk rafinasi aman dikonsumsi, Tom meminum larutan gula rafinasi secara langsung di ruang sidang. Aksi tersebut dilakukan untuk memberikan gambaran bahwa gula rafinasi bukan zat berbahaya, sebagaimana sempat disinggung dalam dakwaan.
Namun, tindakan itu tidak luput dari perhatian jaksa. Mereka mengingatkan bahwa konsumsi bahan pangan di luar standar pengawasan dapat menimbulkan dampak kesehatan yang belum diketahui.
Tom menanggapi hal tersebut dengan santai. “Saya konsumsi itu untuk memastikan dampaknya bagi tubuh saya sendiri,” tuturnya sembari menunjukkan sisa gula yang dibawa ke ruang sidang.
Demonstrasi itu dilakukan sebagai bagian dari pembelaan terhadap kebijakan impor gula rafinasi, yang menurut Tom saat itu dibutuhkan untuk menstabilkan pasokan dalam negeri.
Dakwaan jaksa menyebut Tom Lembong melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena memproses izin impor gula tanpa prosedur sebagaimana mestinya. Perkara ini juga menyinggung keterlibatan koperasi militer dan perusahaan swasta.
Salah satu yang disebut adalah PT Angels Products, perusahaan milik pengusaha Tomy Winata. Perusahaan ini diduga menjadi pelaksana impor atas nama koperasi seperti Inkopad dan Inkoppol, karena koperasi tersebut tidak memiliki modal dan fasilitas produksi.
Keterangan dari saksi Letkol CHK Sipayung sebelumnya menguatkan hal itu. Ia menjelaskan bahwa pihak koperasi memang tidak mampu menjalankan kegiatan impor secara langsung, sehingga menunjuk pihak swasta sebagai mitra operasional.
Dalam pembelaannya, Tom menyatakan bahwa impor dilakukan atas dasar kebutuhan mendesak saat pasokan gula nasional mengalami defisit signifikan. Ia mengaku mempertimbangkan kebutuhan pasar dan stabilitas harga.
“Keputusan itu dibuat untuk mencegah lonjakan harga di tingkat konsumen,” ujarnya dalam kesempatan sebelumnya.
Pihak kuasa hukum Tom Lembong menyatakan bahwa kebijakan impor yang diambil kliennya telah memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Mereka merujuk pada analisis ahli yang menyebut bahwa langkah itu menurunkan harga gula dan menghemat biaya hingga triliunan rupiah.
Penasehat hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi menyebutkan bahwa keputusan mendesak tersebut berdampak positif terhadap stabilitas harga pangan di tengah krisis stok pada tahun 2016.
Tim hukum mempertanyakan mengapa dugaan pelanggaran ini baru dipersoalkan setelah bertahun-tahun berlalu. Mereka juga menyayangkan bahwa saat kebijakan berjalan, tidak ada keberatan dari instansi pemerintah lain.
“Tidak ada nota protes maupun surat resmi yang menyatakan bahwa impor saat itu melanggar prosedur,” kata Zaid.
Ia juga menambahkan bahwa semua izin diterbitkan atas nama lembaga yang sah, termasuk koperasi militer, dan disertai dokumen lengkap yang sesuai ketentuan saat itu.
Sidang akan kembali digelar pada Jumat, 4 Juli 2025 dengan agenda penyampaian tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Perkara ini dipandang sebagai ujian terhadap mekanisme delegasi kewenangan dalam kementerian. Jika majelis hakim memutuskan bersalah, maka hal itu akan mempertegas batas tanggung jawab pejabat negara dalam pengambilan kebijakan.
Kritikus menilai bahwa persoalan ini menyentuh ranah tata kelola pemerintahan yang efektif, termasuk pentingnya pencatatan dokumen dan kejelasan struktur wewenang di kementerian.
Beberapa pakar kebijakan menyebut, putusan akhir dalam perkara ini akan berdampak besar terhadap prosedur administrasi perizinan, khususnya untuk sektor pangan yang bersifat strategis.
Kementerian Perdagangan juga diharapkan mengevaluasi ulang proses pemberian mandat agar tidak terjadi tumpang tindih otoritas sebagaimana yang terungkap dalam perkara ini.
Majelis hakim Tipikor Jakarta dijadwalkan menyampaikan vonis paling lambat pertengahan Juli 2025, setelah seluruh proses pembuktian dan tuntutan jaksa rampung.
Kasus ini menunjukkan pentingnya ketelitian dalam penggunaan wewenang oleh pejabat tinggi, khususnya dalam bidang yang berdampak langsung pada kebutuhan masyarakat seperti pangan. Delegasi harus dilakukan secara konsisten dan terdokumentasi dengan baik agar tidak menimbulkan ruang penyimpangan.
Keputusan strategis seperti impor bahan pokok semestinya diiringi dengan pelibatan banyak pihak dan koordinasi lintas lembaga. Tanpa itu, setiap kebijakan bisa disalahartikan atau bahkan digunakan untuk kepentingan sempit.
Publik berharap penyelesaian perkara ini tidak hanya menyasar individu, tetapi juga mampu memperbaiki sistem tata kelola birokrasi agar lebih transparan dan bertanggung jawab.
Kejadian ini juga memberikan pembelajaran kepada semua pejabat negara bahwa ketiadaan ingatan bukan pembelaan yang sah, terutama dalam kebijakan yang menyangkut keuangan negara.
Demi mencegah pengulangan kasus serupa, institusi pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan internal dan mengedepankan akuntabilitas pada setiap proses kebijakan. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v