Jakarta, EKOIN.CO – Pemerintah Indonesia resmi menetapkan struktur penghasilan terbaru bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai tahun 2025. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 94 Tahun 2025 yang ditandatangani pada 4 Maret 2025.
Landasan hukum utama dari kebijakan ini merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2024, bukan Perpres Nomor 12 Tahun 2025 sebagaimana banyak disalahpahami di tengah masyarakat. Perpres ini menjadi dasar hukum pengelolaan penghasilan PPPK secara nasional.
Dalam dokumen resmi yang dikutip dari laman Kementerian PAN-RB, dijelaskan bahwa skema baru penggajian PPPK memperkenalkan 17 golongan penghasilan. Golongan ini ditentukan berdasarkan jabatan fungsional, ijazah terakhir, serta masa kerja PPPK.
Golongan I menetapkan gaji pokok awal sebesar Rp1.938.500 dan maksimal hingga Rp2.900.900 untuk masa kerja 26 tahun. Sementara Golongan XVII, tertinggi dalam struktur ini, memulai dari Rp4.462.500 hingga maksimal Rp7.329.000.
Penyesuaian ini berlaku bagi semua PPPK yang telah diangkat, termasuk peserta hasil seleksi tahun 2023–2024 yang mulai aktif bertugas pada tahun 2025. Pemerintah menegaskan bahwa penggajian akan didasarkan pada jabatan formasi serta ijazah linier yang digunakan dalam seleksi.
Skema Baru, Kesejahteraan Meningkat
Perubahan besar ini disebut sebagai bagian dari reformasi sistem penggajian ASN yang lebih transparan dan berbasis kinerja. Skema ini juga mendorong penyederhanaan proses dan keadilan dalam sistem pengupahan bagi ASN non-PNS.
Selain gaji pokok, PPPK berhak menerima tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, tunjangan profesi, serta insentif khusus bagi yang bertugas di daerah 3T, yakni wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar.
Untuk menunjang kesejahteraan, PPPK juga akan tetap mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 setiap tahunnya, sama seperti yang diterima oleh PNS.
Dengan akumulasi gaji pokok dan tunjangan tersebut, PPPK dari Golongan IX ke atas diperkirakan dapat memperoleh total penghasilan bulanan antara Rp6 juta hingga Rp7 juta.
Menurut keterangan dari pejabat Kemenpan-RB, seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah diwajibkan untuk segera melakukan penyesuaian dalam struktur belanja pegawai menyusul kebijakan penggajian baru ini.
Langkah ini bertujuan agar pelaksanaan kebijakan berjalan seragam dan tertib secara administrasi, serta meminimalkan disparitas antara pusat dan daerah.
Kementerian PAN-RB juga menegaskan bahwa penyesuaian belanja pegawai bukan hanya soal teknis pembayaran, tetapi juga menyangkut perencanaan keuangan yang adil, terukur, dan berpihak pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Penetapan struktur gaji ini menjadi bagian dari upaya menyeluruh dalam reformasi birokrasi, sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo dalam berbagai forum kenegaraan.
Kebijakan ini juga merespons aspirasi PPPK yang selama ini mengeluhkan ketidakjelasan sistem penggajian dan ketimpangan dengan ASN dari kalangan PNS.
Sejumlah pengamat kebijakan publik menyatakan bahwa pembenahan struktur gaji PPPK adalah langkah strategis dalam menciptakan lingkungan kerja yang kompetitif dan berdaya saing tinggi.
Hal ini sejalan dengan misi pemerintah untuk menjadikan ASN sebagai pelayan publik yang profesional, akuntabel, dan berorientasi pada hasil.
Kementerian PAN-RB dalam siaran resminya menyebutkan bahwa struktur golongan yang baru juga mempertimbangkan kondisi riil pegawai di lapangan dan kebutuhan masyarakat atas layanan yang berkualitas.
Reformasi penggajian ini tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari transformasi digital birokrasi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur sipil negara.
Upaya tersebut diyakini akan membangun budaya kerja yang lebih efisien, responsif, serta mampu menjawab tantangan zaman dalam konteks pelayanan publik.
Kepastian Hukum dan Administrasi
Dalam penjelasannya, Kemenpan-RB mengimbau agar seluruh kepala daerah dan pimpinan instansi memperhatikan dasar hukum penggajian PPPK secara tepat. Perpres Nomor 11 Tahun 2024 adalah acuan resmi, bukan Perpres 12 Tahun 2025 seperti yang banyak disangka.
Kesalahan dalam memahami regulasi ini berpotensi menimbulkan kekeliruan dalam pelaksanaan teknis di tingkat daerah dan menyebabkan keterlambatan pembayaran gaji.
Selain itu, pemahaman terhadap golongan penggajian perlu disosialisasikan secara menyeluruh kepada PPPK agar mereka memahami hak dan kewajiban berdasarkan formasi jabatan masing-masing.
Penjelasan detail mengenai tiap golongan, masa kerja, dan struktur tunjangan telah dicantumkan secara resmi dalam Keputusan Menteri PAN-RB Nomor 94 Tahun 2025 yang kini dapat diakses publik.
Pemerintah pusat juga membuka ruang konsultasi bagi daerah yang mengalami kendala dalam pelaksanaan teknis kebijakan tersebut.
Langkah itu diharapkan memperkuat koordinasi lintas instansi dalam mengimplementasikan skema penggajian baru secara konsisten dan berkelanjutan.
Dengan pengelolaan penghasilan yang adil dan profesional, PPPK diharapkan bisa memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat tanpa dibayangi ketidakpastian administratif.
Penerapan kebijakan ini juga membawa efek domino pada perencanaan keuangan daerah, khususnya dalam penyusunan APBD dan sistem pengawasan internal.
Adanya golongan yang terstruktur memungkinkan pemerintah daerah melakukan proyeksi anggaran dengan lebih akurat dan tidak merugikan pegawai.
Kementerian Keuangan juga telah dilibatkan sejak awal dalam proses harmonisasi regulasi guna memastikan bahwa semua kebijakan berjalan seimbang dari sisi fiskal.
Harapan besar disematkan kepada PPPK agar terus meningkatkan profesionalisme serta dedikasi dalam menjalankan tugas di berbagai bidang pelayanan.
Langkah pemerintah pusat memperjelas struktur gaji ini juga bisa menjadi preseden positif untuk perbaikan sistem kepegawaian nasional secara keseluruhan.
Dari sisi hukum, penggunaan Perpres Nomor 11 Tahun 2024 menunjukkan adanya kepastian regulasi yang kuat dan dapat dijadikan pegangan dalam jangka panjang.
Dengan diberlakukannya sistem baru ini, berbagai kesenjangan lama dalam gaji PPPK diprediksi akan mulai teratasi secara bertahap dan menyeluruh.
Para pemangku kebijakan juga diharapkan terus melakukan monitoring terhadap pelaksanaan di daerah agar berjalan sesuai rencana.
Pemerintah berharap kebijakan ini mampu mendorong peningkatan kualitas layanan publik yang merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai bagian dari reformasi birokrasi, penerapan sistem penggajian ini diharapkan juga memacu semangat ASN dalam mencapai target kinerja yang lebih tinggi.
Dalam konteks sosial, peningkatan kesejahteraan PPPK turut berkontribusi terhadap kestabilan ekonomi rumah tangga ASN dan memperkuat daya beli lokal.
Pemerintah daerah disarankan segera menyosialisasikan struktur baru penggajian PPPK kepada seluruh satuan kerja, agar tidak terjadi miskomunikasi. Selain itu, pelatihan teknis perlu dilakukan untuk memastikan operator keuangan memahami sistem baru secara rinci. Instansi pusat dan daerah juga harus membentuk tim kecil pengawas implementasi agar proses penyesuaian berjalan lancar. Peluang konsultasi dengan pusat harus dimanfaatkan oleh pemerintah daerah, khususnya di wilayah 3T. Terakhir, organisasi profesi PPPK diharapkan turut mengawal implementasi kebijakan dengan memberikan masukan dari bawah.
Reformasi sistem penggajian PPPK merupakan langkah penting untuk meningkatkan kesejahteraan ASN non-PNS secara menyeluruh. Kejelasan struktur, dasar hukum yang kuat, dan transparansi tunjangan memberi dampak positif bagi profesionalisme pegawai. Dengan golongan yang tersusun rapi, perencanaan keuangan daerah bisa menjadi lebih efisien dan tepat sasaran. Seluruh kebijakan ini mendukung terwujudnya ASN yang berintegritas dan akuntabel. Pada akhirnya, semua kebijakan ini bermuara pada peningkatan mutu layanan publik bagi rakyat Indonesia.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v