Jakarta, EKOIN.CO – Mahkamah Agung (MA) secara resmi membatalkan aturan pemerintah yang mengizinkan ekspor pasir laut. Aturan tersebut sebelumnya diterbitkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Keputusan MA tertuang dalam putusan yang dipublikasikan pada Rabu, 26 Juni 2025.
MA Batalkan Aturan Ekspor Pasir Laut
Putusan Mahkamah Agung itu bernomor 23 P/HUM/2024. MA mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekologis. Dalam permohonannya, koalisi meminta agar ketentuan ekspor pasir laut dalam PP 26/2023 dibatalkan.
Majelis Hakim yang dipimpin Ketua Majelis Yulius, serta hakim anggota Cerah Bangun dan Ida Ratna Zulaiha menyatakan bahwa pasal-pasal terkait ekspor pasir laut dalam PP 26/2023 bertentangan dengan peraturan di atasnya.
MA menegaskan bahwa pengaturan ekspor pasir laut melanggar prinsip perlindungan lingkungan hidup dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dikeluarkan Era Jokowi, Kini Dibatalkan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Mei 2023. Aturan ini membuka kembali peluang ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang sejak tahun 2003.
Pasal 9 dalam PP itu secara eksplisit membolehkan ekspor pasir laut selama dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan perizinan berusaha. Ketentuan inilah yang digugat ke Mahkamah Agung.
Putusan MA menyoroti bahwa ekspor pasir laut dapat berdampak serius terhadap ekosistem laut dan keberlanjutan lingkungan pesisir. Oleh karena itu, MA memutuskan bahwa Pasal 9 ayat (2), (3), dan (4) dalam PP tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Koalisi Lingkungan Sambut Putusan MA
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai lembaga advokasi lingkungan dan masyarakat adat menyambut baik putusan ini. Mereka menilai langkah MA sebagai kemenangan bagi lingkungan dan keadilan ekologis.
“Masyarakat pesisir sangat rentan terhadap dampak pengerukan pasir laut. Keputusan MA ini memberi harapan baru untuk perlindungan ekosistem pesisir,” ujar Siti Rahma, perwakilan koalisi, saat jumpa pers.
Koalisi juga menekankan bahwa aturan yang memberi celah untuk ekspor pasir laut mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sumber daya alam.
MA Gunakan Prinsip Perlindungan Lingkungan
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menggunakan pendekatan prinsip kehati-hatian serta prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Lingkungan Hidup.
MA menyatakan bahwa pengelolaan sedimentasi laut seharusnya diarahkan untuk rehabilitasi lingkungan, bukan sebagai komoditas ekspor.
Dalam salinan putusannya, MA juga menilai bahwa tidak ada dasar hukum kuat yang membenarkan ekspor pasir laut sebagai bagian dari pengelolaan sedimentasi laut.
Pemerintah Harus Evaluasi Kebijakan
Dengan dibatalkannya aturan ekspor pasir laut, pemerintah pusat diminta mengevaluasi seluruh kebijakan turunannya. Hal ini termasuk mencabut izin-izin yang telah dikeluarkan berdasarkan PP 26/2023.
Pakar hukum lingkungan dari Universitas Indonesia, Prof. Fadli Nasir, menyarankan pemerintah segera menyesuaikan kebijakan agar sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
“Pemerintah harus konsisten dengan tujuan perlindungan lingkungan. Pencabutan PP ini wajib diikuti dengan langkah konkret di lapangan,” ucap Fadli dalam keterangan tertulis.
Aktivis Desak Penegakan di Daerah
Selain itu, koalisi mendesak agar pemerintah daerah turut serta menegakkan keputusan ini. Mereka meminta agar daerah tidak lagi menerbitkan izin pengerukan pasir laut atas dasar PP 26/2023.
Di beberapa wilayah seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan Utara, masyarakat pesisir telah menyuarakan kekhawatiran terkait kerusakan laut akibat ekspor pasir.
Koordinator WALHI Kepulauan Riau, Andi Rahman, menegaskan bahwa selama ini aktivitas ekspor pasir hanya menguntungkan segelintir pihak dan merugikan nelayan kecil.
“Nelayan kami kehilangan wilayah tangkap. Pengerukan pasir menyebabkan keruhnya air dan hilangnya habitat ikan,” tegas Andi.
Izin Terbit Era Jokowi, Diprotes Sejak Awal
Sejak terbitnya PP 26/2023, berbagai kelompok masyarakat sipil telah mengajukan keberatan dan protes. Mereka menilai kebijakan tersebut cacat secara prosedural dan tidak berpihak pada lingkungan.
Beberapa organisasi, termasuk ELSAM, ICEL, dan JATAM, sempat mengajukan surat keberatan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun tidak mendapat tanggapan memadai.
Kebijakan tersebut juga disebut melanggar prinsip partisipasi publik karena diterbitkan tanpa konsultasi menyeluruh dengan masyarakat terdampak.
Dilema Ekonomi dan Lingkungan
Meski pemerintah sebelumnya berdalih bahwa ekspor pasir laut akan memberikan kontribusi ekonomi, para peneliti menilai dampak lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih besar.
Laporan dari LIPI menyebutkan bahwa aktivitas pengerukan pasir laut menyebabkan perubahan arus, abrasi, dan hilangnya habitat biota laut.
Di sisi lain, pendapatan negara dari ekspor pasir laut dinilai tidak signifikan dibandingkan dengan potensi kerusakan yang ditimbulkan.
MA Tegaskan Pasir Laut Bukan Komoditas Ekspor
Putusan MA menjadi sinyal bahwa pasir laut bukan barang dagangan yang dapat dieksploitasi secara bebas. MA menekankan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus tunduk pada prinsip kelestarian lingkungan.
Dalam putusan itu disebutkan bahwa laut adalah ruang hidup bagi banyak masyarakat dan tidak bisa dimanfaatkan hanya demi kepentingan investasi.
Dengan begitu, MA menegaskan bahwa kebijakan apapun yang berkaitan dengan laut harus bersifat konservatif dan melibatkan partisipasi masyarakat luas.
Pemerintah sebaiknya menjadikan putusan MA ini sebagai momentum untuk menyusun ulang kebijakan pengelolaan laut. Pendekatan berbasis konservasi perlu dikedepankan dibanding sekadar eksploitasi ekonomi.
Penting bagi pemerintah untuk membangun mekanisme konsultasi publik yang terbuka dan inklusif dalam setiap perumusan kebijakan terkait sumber daya alam.
Diperlukan pengawasan ketat terhadap aktivitas pengerukan di laut yang sudah berjalan agar tidak terus menimbulkan kerusakan.
Selain itu, pemerintah wajib melakukan audit terhadap semua izin ekspor yang telah terbit sejak diberlakukannya PP 26/2023.
Langkah kolaboratif dengan komunitas lokal dan ilmuwan kelautan dapat memperkuat kebijakan yang ramah lingkungan dan adil bagi masyarakat pesisir.
Kesimpulan:
Putusan MA membatalkan ekspor pasir laut membuktikan bahwa prinsip perlindungan lingkungan hidup tetap menjadi landasan hukum tertinggi.
Keputusan ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah agar tidak gegabah dalam menerbitkan kebijakan yang berisiko pada kerusakan alam.
Mahkamah Agung telah menjalankan fungsinya dalam menjaga konstitusi dan perlindungan sumber daya alam untuk kepentingan jangka panjang.
Harapan besar kini bertumpu pada langkah pemerintah dalam menindaklanjuti keputusan ini dengan tindakan konkret di lapangan.
Keadilan ekologis akhirnya menemukan pijakan kuat melalui putusan hukum tertinggi yang berpihak pada keselamatan lingkungan dan masyarakat pesisir.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v