Jakarta, Ekoin.co – Ketegangan politik antara Eropa dan Amerika Serikat memicu pergeseran besar dalam preferensi digital warga Eropa. Kian banyak pengguna di Benua Biru yang meninggalkan layanan digital buatan Silicon Valley seperti Gmail, Starlink, hingga Instagram, seiring kedekatan para bos teknologi AS dengan pemerintahan Presiden Donald Trump.
Fenomena ini turut mendongkrak popularitas platform digital buatan Eropa. Layanan seperti Ecosia, ProtonMail, dan sistem operasi Android versi non-Google mulai dilirik oleh masyarakat yang sebelumnya tidak terlalu peduli soal pelindungan data pribadi maupun dominasi perusahaan teknologi Amerika.
“Permasalahannya adalah perusahaan AS menguasai semua. Sebelumnya, hanya orang yang awas soal pelindungan data pribadi yang mencari layanan internet alternatif. Kini, orang yang sadar politik ikut serta,” ujar Michael Wirths, pendiri Topio, seperti dilansir Reuters, Selasa (24/6/2025).
Topio merupakan organisasi yang membantu warga Eropa menginstal sistem operasi Android bebas Google di ponsel mereka. Langkah ini menjadi salah satu bentuk nyata perlawanan terhadap dominasi teknologi asal AS yang dianggap mengancam kedaulatan digital kawasan.
Data dari Similarweb menunjukkan bahwa Ecosia, mesin pencari buatan Jerman, mengalami lonjakan pencarian hingga 27 persen. Meski begitu, jumlah kunjungan Ecosia di 27 negara Uni Eropa hanya mencapai 122 juta, jauh tertinggal dari Google yang mencapai 10,3 miliar.
Meski secara volume masih terpaut jauh, Ecosia menyebut tren ini sebagai angin segar. “Makin buruk makin baik buat kami,” kata Christian Kroll, pendiri Ecosia. Menurutnya, kesadaran politik mendorong warga untuk mencari alternatif dari produk dominan seperti Google atau Bing.
Di bidang email, ProtonMail yang berbasis di Swiss mencatat pertumbuhan pengguna sebesar 11,7 persen. Di saat bersamaan, Gmail kehilangan pangsa pasar sebesar 1,9 persen dan kini tercatat menguasai sekitar 70 persen pengguna email di Eropa.
Maria Farrell, seorang ahli internet asal Inggris, menggambarkan pergeseran ini sangat terasa di kehidupan sehari-hari. “Orang biasa, yang biasanya tidak pernah peduli soal layanan buatan AS yang mereka pakai, mulai sadar. Penata rambut saya mulai bertanya ia bisa ganti ke mana,” ungkapnya.
Ketakutan tersebut diperparah oleh pernyataan dari perusahaan teknologi AS yang menentang regulasi internet Eropa. Meta, induk perusahaan Instagram dan WhatsApp, menyebut aturan Digital Service Act (DSA) sebagai bentuk sensor.
DSA sendiri dirancang Uni Eropa untuk mencegah praktik monopoli digital dan mengharuskan perusahaan besar bertanggung jawab atas penyebaran konten ilegal dan ujaran kebencian di platform mereka. Kebijakan ini dinilai sangat ketat oleh pelaku industri digital Amerika.
Sebaliknya, regulasi di AS dinilai lebih longgar namun memberikan kekuasaan luas bagi pemerintah untuk mengakses data pribadi warga asing. Direktur Proyek Pemantauan dan Keamanan dari Pusat Demokrasi dan Teknologi, Greg Nojeim, mengatakan kekhawatiran warga Eropa cukup beralasan.
“Hukum di AS tidak hanya memberikan pemerintah wewenang untuk menggeledah HP siapa saja yang memasuki wilayah AS. Aturan itu juga bisa memaksa data milik warga Eropa yang disimpan oleh perusahaan AS atau dikirim melalui layanan komunikasi AS,” kata Nojeim.
Sebagai bentuk konkret, pemerintah Jerman mulai mengurangi ketergantungan terhadap teknologi asal Amerika. Mereka mulai beralih menggunakan program open-source dan infrastruktur cloud lokal sebagai bagian dari strategi digital nasional.
Pemerintah negara bagian Schleswig-Holstein bahkan mewajibkan seluruh sistem IT publik menggunakan software open-source. Mereka juga memilih layanan internet satelit Eutelsat milik Prancis dibandingkan Starlink yang dimiliki Elon Musk.