Jakarta, EKOIN.CO – Para pengemudi ojek online (ojol) yang tergabung dalam organisasi Garda Indonesia kembali bersiap untuk menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di sekitar Istana Negara, menyusul ketidakpuasan atas tidak adanya tanggapan dari pemerintah terhadap tuntutan yang mereka sampaikan dalam demonstrasi pada 20 Mei 2025.
Aksi lanjutan tersebut dijadwalkan berlangsung pada 21 Juli 2025. Jika tidak ada perkembangan, aksi bisa digeser ke Agustus. Mobilisasi massa diperkirakan akan melibatkan ribuan mitra pengemudi dari berbagai wilayah, tidak hanya Jabodetabek, melainkan juga dari luar daerah.
Menurut Yudha Al Janata, Kepala Divisi Humas Garda Indonesia, kekecewaan para pengemudi semakin memuncak karena pemerintah tidak menunjukkan itikad baik menyambut aspirasi. “Kami sudah sampaikan aspirasi pada 20 Mei, namun tak ada tanggapan. Kami merasa dibohongi,” kata Yudha dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Sabtu 21 Juni 2025.
Tidak Ada Tindak Lanjut Pemerintah
Yudha mengungkapkan bahwa setelah aksi sebelumnya, belum ada pertemuan lanjutan yang dijanjikan oleh Kementerian Perhubungan maupun lembaga pemerintah lainnya. Bahkan, saat aksi berlangsung pun, tidak ada satu pun pejabat pemerintah yang menemui perwakilan massa.
Para pengemudi menilai hal ini sebagai bentuk pengabaian terhadap suara rakyat kecil. Garda Indonesia merasa bahwa pemerintah dan aplikator telah mengabaikan keluhan mereka, yang sebenarnya bersifat sangat mendesak.
Tuntutan yang Belum Dijawab
Dalam demonstrasi sebelumnya, Garda Indonesia menyampaikan lima tuntutan utama yang hingga kini belum ditanggapi. Salah satunya adalah permintaan agar pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengatur sistem transportasi online.
Tuntutan lainnya mencakup pembatasan potongan komisi maksimal 10 persen oleh aplikator, pemberian kebebasan dalam penentuan tarif untuk layanan pengantaran makanan dan barang, serta audit terbuka terhadap potongan 5 persen yang disebut-sebut dilakukan aplikator.
Mereka juga mendesak agar sistem promosi dan penugasan berbasis “slot”, “aceng”, serta skema manipulatif lainnya dihapuskan karena dianggap merugikan pengemudi.
Aksi yang akan digelar pada akhir Juli tersebut diperkirakan bukan hanya dalam bentuk unjuk rasa di Istana, tetapi juga dengan melakukan aksi mogok massal atau off-bid. Artinya, ribuan pengemudi akan menonaktifkan aplikasi secara bersamaan dalam waktu yang telah ditentukan.
Hal ini dimaksudkan sebagai tekanan tambahan agar aspirasi mereka segera direspons. Menurut Yudha, jika diperlukan, jumlah pengemudi yang akan melakukan off-bid bisa mencapai ratusan ribu.
“Apabila tidak ada tanggapan hingga pertengahan Juli, maka bukan hanya aksi turun ke jalan, kami juga akan lakukan mogok total secara nasional,” ujar Yudha.
Dalam rencana aksi mendatang, partisipasi pengemudi dari luar Jabodetabek juga semakin terlihat. Garda Indonesia mengklaim bahwa dukungan datang dari berbagai kota di Pulau Jawa dan bahkan luar Jawa, seperti Sumatera dan Kalimantan.
Mereka juga tengah menjalin komunikasi dengan organisasi pengemudi serupa di berbagai wilayah agar aksi bersifat terkoordinasi dan serentak.
Langkah ini dianggap penting untuk menunjukkan bahwa tuntutan ini bukan berasal dari kelompok kecil, melainkan suara bersama dari komunitas besar ojek online di seluruh Indonesia.
Selain demo di Istana, pengemudi juga berencana menggelar unjuk rasa di kantor-kantor pusat perusahaan aplikator seperti Gojek dan Grab. Ini dilakukan untuk menegaskan bahwa tanggung jawab bukan hanya pada pemerintah, tapi juga pada pihak aplikator.
Rangkaian aksi kemungkinan akan dilakukan dalam bentuk gelombang, dimulai dari satu titik lalu merembet ke lokasi-lokasi lain secara bersinambungan.
Menurut penuturan pihak Garda, langkah ini diambil untuk memberikan tekanan bertahap hingga ada kesediaan pihak terkait duduk bersama membahas tuntutan.
Sampai saat ini, baik dari pihak Kementerian Perhubungan maupun perusahaan aplikator belum ada tanggapan resmi yang diberikan terkait rencana aksi pada akhir Juli.
Komunitas pengemudi pun masih menanti apakah ada itikad dari pemerintah untuk menggelar dialog terbuka sebagaimana pernah dijanjikan.
Yudha menyampaikan bahwa pihaknya membuka ruang untuk berdiskusi kapan pun, namun jika tidak ada tanggapan, maka aksi akan tetap dilaksanakan.
Jika aksi ini benar-benar dilakukan dalam skala besar, maka bukan hanya pemerintah dan aplikator yang terdampak. Masyarakat pengguna jasa ojek online pun akan merasakan dampaknya secara langsung.
Kemacetan di sekitar lokasi unjuk rasa sangat mungkin terjadi, apalagi jika aksi dilakukan di pusat kota dan titik-titik strategis lain. Selain itu, gangguan terhadap layanan pengantaran barang dan makanan juga bisa terjadi.
Garda Indonesia menegaskan bahwa mereka tidak bermaksud mengganggu ketertiban umum, namun ingin memperjuangkan kesejahteraan mitra pengemudi yang selama ini tertekan oleh sistem yang dianggap tidak adil.
“Kami hanya ingin diperhatikan. Kami hanya ingin ada keadilan. Kami bukan musuh negara,” kata Yudha dalam pernyataannya.
Pihak Garda juga mengatakan bahwa mereka siap berdialog, namun bukan berarti siap untuk terus menunggu tanpa kepastian.
Gerakan ini juga mendapatkan dukungan dari keluarga para pengemudi yang ikut terdampak oleh situasi ekonomi akibat pemotongan yang terlalu besar.
Banyak istri dan anak mitra ojol yang menyatakan dukungan melalui media sosial dan komunitas-komunitas keluarga pengemudi.
Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan ini tidak hanya berkaitan dengan mitra individu, tapi juga menyangkut kesejahteraan keluarga besar mereka.
Dalam beberapa hari ke depan, Garda Indonesia akan terus melakukan konsolidasi dengan komunitas pengemudi di berbagai kota.
Mereka juga akan membuka posko informasi dan pelatihan aksi agar para peserta bisa memahami arah gerakan dan tetap menjaga keamanan selama unjuk rasa.
Yudha menegaskan bahwa aksi akan dilakukan secara damai, namun tetap dengan tekanan yang nyata dan terukur.
Saran: Para pengemudi perlu tetap menjaga komunikasi yang sehat dan produktif dengan pemangku kepentingan agar aspirasi tersampaikan dengan baik tanpa menimbulkan dampak sosial yang lebih luas.
Saran: Pemerintah diharapkan lebih responsif dan segera menyiapkan forum formal untuk menyerap dan menindaklanjuti tuntutan pengemudi, demi mencegah konflik berkepanjangan.
Saran: Perusahaan aplikator harus segera membuka ruang diskusi dengan mitra pengemudi, serta memberikan kejelasan dan transparansi sistem potongan dan promosi.
Saran: Aksi ini bisa menjadi momen refleksi untuk merancang regulasi jangka panjang yang mampu melindungi hak dan kesejahteraan pekerja sektor digital.
Kesimpulan: Ketegangan antara pengemudi ojol, pemerintah, dan aplikator mencerminkan perlunya sistem transportasi daring yang lebih adil. Dengan langkah yang tepat dan dialog yang terbuka, semua pihak bisa memperoleh solusi yang saling menguntungkan. Jika tuntutan terus diabaikan, eskalasi lanjutan bukan tak mungkin akan terjadi. (*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v