Jakarta, EKOIN.CO – Dalam rangka memperkuat kerja sama reformasi regulasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menghadiri Bilateral Stakeholders Breakfast Meeting yang diselenggarakan oleh Duta Besar United Kingdom untuk ASEAN, Rabu (18/07/2025).
Pertemuan tersebut berlangsung di Ambassador Residence, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Dalam sambutannya, Sarah Tiffin selaku Duta Besar UK untuk ASEAN menyampaikan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan dua kegiatan pada program kerja sama Economic Integration.
“Fokusnya pada Good Regulatory Practices (GRP) dan Keamanan Produk serta Perlindungan Konsumen,” ujar Sarah. Kegiatan ini menjadi bagian penting dari penguatan dialog lintas negara dalam memperkuat kebijakan publik yang adaptif.
Diskusi tersebut dihadiri oleh perwakilan dari instansi pemerintah Indonesia dan Inggris yang berkaitan langsung dengan perumusan dan pengawasan kebijakan regulasi, termasuk BPHN dan Departemen Bisnis dan Perdagangan United Kingdom.
Salah satu topik utama dalam pertemuan ini adalah penyusunan Pedoman Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dikoordinasikan oleh BPHN bersama Ditjen PP dan Kemenko Perekonomian.
Pedoman RIA sebagai Panduan Nasional
Kepala Pusat Pemantauan, Peninjauan dan Pembangunam Hukum Nasional BPHN, Rahendro Jati yang hadir mewakili Kepala BPHN, Min Usihen, menyampaikan beberapa hal yang menjadi perhatian dalam penyusunan RIA.
“Pada tahap awal fokus penyusunan adalah untuk menciptakan pedoman yang user friendly dan sejalan dengan alur proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tujuannya untuk menghindarkan persepsi bahwa RIA akan memperlama proses pembentukan regulasi,” ujar Rahendro.
Pendekatan tersebut diharapkan mampu menjembatani kebutuhan akan regulasi yang berkualitas tanpa menghambat efektivitas proses legislasi. RIA diposisikan sebagai alat bantu yang mengefisienkan penyusunan kebijakan.
Dalam kesempatan yang sama, Graham Russel selaku Chief of Executive Officer of Office of Product Safety and Standards, Departemen Bisnis dan Perdagangan United Kingdom, menekankan pentingnya memahami kondisi nasional dalam penerapan pedoman.
“Indonesia dapat belajar berbagai praktik baik dari pengalaman United Kingdom yang telah berproses untuk penataan dan perbaikan regulasi sejak 1948, namun tentu kondisi dan proses yang ada di Indonesia berbeda. Olehkarena itu, Indonesia perlu berfokus menentukan strategi agar Kementerian/lembaga merasa yakin dengan pedoman yang ada,” ujar Graham.
Pemahaman yang Mendalam Jadi Kunci Reformasi
Pada kesempatan berbeda, Min Usihen mengarahkan pedoman agar substansi pedoman disusun dengan mengedepankan prinsip user friendly sehingga Kementerian/Lembaga tidak merasa RIA sebagai instrumen yang susah, rumit dan memakan waktu untuk dikerjakan.
“Pemahaman ini perlu dibangun dan didorong mengingat kita sama-sama menyadari bahwa RIA merupakan instrumen penting untuk memastikan regulasi kita fit to purpose dan dapat menyelesaikan kebutuhan serta permasalahan masyarakat,” ujar Min.
Min menekankan bahwa penting untuk membangun kepercayaan bahwa pedoman ini bukan merupakan beban tambahan, melainkan sebagai pendekatan untuk menghasilkan regulasi yang sesuai kebutuhan publik.
Dalam diskusi yang berlangsung hangat, para peserta bersepakat bahwa untuk program GRP ke depan akan fokus pada pengambilan langkah-langkah strategis untuk menumbuhkan komitmen Kementerian/Lembaga dalam menggunakan RIA sekaligus menerapkan pedoman secara penuh.
Selain itu, setelah pedoman selesai disusun, akan juga dilakukan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas serta pelaksanaan proyek percontohan penggunaan pedoman dalam penyusunan RIA.
Pertemuan ini menandai langkah penting Indonesia dalam memperkuat sistem regulasi yang lebih analitis dan berdampak, melalui kerja sama dengan Inggris. Penyusunan Pedoman RIA menjadi fondasi bagi lahirnya kebijakan yang mempertimbangkan manfaat, risiko, dan efisiensi sejak awal perumusan. Diskusi antar pemangku kepentingan mengarah pada satu tujuan, yakni membangun ekosistem regulasi yang mendukung pertumbuhan dan melindungi masyarakat.
Komitmen dari para pemimpin seperti Sarah Tiffin, Graham Russel, dan Min Usihen mencerminkan pemahaman bahwa reformasi tidak bisa dilakukan secara sepihak. Dibutuhkan pendekatan kolaboratif, adaptif, dan realistis yang mempertimbangkan konteks Indonesia, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip terbaik yang telah diterapkan di negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi bukan hanya produk hukum, melainkan juga alat pembangunan nasional.
Dengan pelatihan, percontohan, dan penguatan kapasitas, Indonesia berharap pedoman RIA tidak hanya menjadi dokumen, tetapi juga menjadi budaya kerja baru dalam penyusunan regulasi. Jika berhasil, ini akan menciptakan tata kelola hukum yang lebih responsif terhadap tantangan zaman.(*)