Banda Aceh, EKOIN.CO – Pemerintah pusat akhirnya menetapkan status empat pulau sengketa, yakni Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang, resmi masuk wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, berdasarkan keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam rapat terbatas pada Selasa (17/6/2025) .
Keputusan tersebut diambil setelah peninjauan dokumen hukum dan data geografis oleh Kementerian Dalam Negeri serta penjelasan administratif melalui Kemendagri .
Rapat terbatas digelar secara daring oleh Presiden Prabowo Subianto, dengan kehadiran Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Mendagri Tito Karnavian, Wakil DPR Sufmi Dasco Ahmad, serta Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumut Bobby Nasution di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta.
Setelah itu, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman antara Pemprov Aceh dan Sumut, dengan hadirnya para tokoh pemerintahan seperti Tito, Prasetyo, Muzakir, dan Bobby .
Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan “dokumen data pendukung” dari Kemendagri yang menunjukkan empat pulau secara administrasi masuk wilayah Aceh.
Menurut Prasetyo, keputusan tersebut diharapkan meredam wacana negatif dan menjaga persatuan masyarakat dua provinsi .
Gubernur Aceh Muzakir Manaf menyambut baik keputusan tersebut dan menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo atas langkah ini, berharap tidak ada pihak merasa dirugikan .
“Yang penting pulau tersebut dalam kategori NKRI … mudah-mudahan ke depan tidak ada lagi permasalahan, aman, damai,” ujar Muzakir .
Sementara itu, Gubernur Sumut Bobby Nasution mengajak warga Sumut untuk tidak terprovokasi isu provokatif dan mengutamakan hubungan baik antarprovinsi.
“Jangan mau dikompor-kompori. Mari bertetangga yang baik,” kata Bobby .
Mensesneg Prasetyo Hadi menegaskan bahwa tidak ada provinsi lain yang mengklaim empat pulau tersebut, sehingga keputusan pemerintah pusat bersifat final.
Mendagri Tito Karnavian menjelaskan bahwa pada 2008, oleh data survei, keempat pulau ini sempat tercatat di wilayah Sumut, namun keberatan Aceh sempat muncul tanpa dukungan dokumen kuat .
Pada tahun 2022, Kemendagri menerima bukti sah berupa surat kesepakatan 1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, yang menegaskan pulau-pulau dimaksud merupakan wilayah Aceh .
Namun, ketika status masih berada di Sumut hingga April 2025, Kemendagri kemudian menelusuri kembali dan menemukan bukti bahwa salinan surat itu asli sehingga menjadi dasar keputusan Presiden .
Berdasarkan data Kemendagri, sebelumnya terjadi kekeliruan administratif saat pendaftaran pulau pada 2009, ketika Aceh tidak memasukkan empat pulau tersebut dalam daftar maksimal pulau, sehingga Sumut terdeteksi mengklaimnya .
Mendagri juga mencatat pada 25 April 2025, Kemendagri telah merilis kode wilayah baru yang menunjukkan keempat pulau masuk Sumut, yang kemudian memicu protes keras dari Pemprov Aceh .
Acehnese melakukan protes di Pegunungan, seperti demonstrasi di depan Kantor Kemendagri pada 13 Juni 2025 sebagai bentuk penolakan terhadap regulasi terbaru tersebut .
Sempat terjadi pertemuan antara Gubernur Muzakir dan Gubernur Bobby di awal Juni, namun berakhir tanpa kesepakatan resmi, bahkan Muzakir dikabarkan meninggalkan pertemuan sebelum selesai .
Masinton Pasaribu, Bupati Tapteng, juga angkat bicara. Ia meminta warga untuk menerima keputusan dan siap mensosialisasikan hasilnya di Sumut .
Lebih jauh, Angelo Nasir Djamil, Anggota DPR dari Aceh, menyambut keputusan ini dengan harapan segera diterbitkan Peraturan Presiden (Keppres) untuk memberikan kekuatan hukum tetap.
Nasir mengatakan:
“Atas nama rakyat Aceh, kami menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto yang sangat tegas dan ’pasang badan’ untuk rakyat Aceh” .
Ia juga menyorot kurangnya sensitivitas terhadap konteks sejarah Aceh dalam regulasi Kemendagri sebelumnya, dan mendesak Keppres sebagai bentuk koreksi kebijakan .
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda juga memberikan dukungan penuh. Menurutnya, Presiden telah menunjukkan kepemimpinan dengan mengutamakan kepastian hukum dan menjaga persatuan bangsa .
Rifqi menambahkan bahwa pihaknya tengah mempersiapkan revisi UU agar titik koordinat batas wilayah diatur lebih jelas di masa depan, untuk mencegah sengketa serupa.
Dari perspektif hukum internasional, Aceh dan Sumut sengketa ini mengundang perhatian karena potensi cadangan gas dan minyak di laut perairannya, seperti disampaikan oleh Pemprov Aceh .
Menurut catatan Wikipedia, keempat pulau tidak berpenghuni namun pernah digunakan nelayan Aceh dan Sumut sebagai tempat berlindung dan menangkap ikan, serta memiliki fasilitas musalla, jetty, dan makam tua terlebih di Pulau Panjang .
Sengketa ini dimulai sejak pemetaan awal pada 1956, saat Aceh dipisahkan dari Sumut, dan semakin kompleks setelah pendaftaran ulang pulau pada 2008, ketika terjadi kesalahan koordinat .
Aceh mengklaim bahwa peta asli 1956 hilang, sehingga kesepakatan 1992 menjadi bukti penting atas klaim wilayahnya .
Kemendagri pada 2020 dan 2022 telah berusaha memfasilitasi klarifikasi dan verifikasi lapangan atas status pulau-pulau ini, namun belum menemukan kesepakatan definitif hingga keputusan Presiden .
Aceh menganggap ini sebagai harga diri, apalagi perjanjian Helsinki 2005 menjadi pijakan penting bagi perdamaian dan otonomi wilayah Aceh .
Pemerintah pusat menyakini bahwa keputusan ini akan menjadi penyelesaian final dan mengakhiri kabar negatif yang sempat merebak # melalui media sosial.
Kronologi sengketa empat pulau ini menjelaskan bahwa kerumitan administratif bisa timbul dari dokumen tidak lengkap, data yang berubah, serta sensitivitas sejarah lokal.
Dari sisi sosial, masyarakat pesisir Aceh dan Sumut sempat terpecah karena klaim tumpang tindih itu, termasuk nelayan yang sempat terancam akses wilayah tangkapnya .
Dengan adanya keputusan Presiden, diharapkan nelayan kedua provinsi dapat kembali melakukan aktivitas secara aman dan damai tanpa kekhawatiran konflik wilayah.
Secara keseluruhan, proses ini menunjukkan pentingnya dokumentasi administratif yang akurat serta peran pemerintah pusat dalam meredam konflik regional.
Dengan merujuk dokumen kuat dan memperhatikan aspek historis, keputusan ini bisa menjadi preseden positif untuk menyelesaikan sengketa wilayah lainnya di Indonesia.
Keputusan Presiden menegaskan bahwa penyelesaian sengketa wilayah harus dilandasi dokumen sah dan koordinasi lintas instansi.
Penerbitan Keppres menjadi krusial untuk memberi kepastian hukum serta menghindari tumpang tindih regulasi administratif.
Revitalisasi data geografis dan sejarah wilayah mesti dilakukan secara berkala agar tidak terjadi kesalahan pencatatan.
Dialog terbuka dan transparansi antara pemerintah provinsi dan pusat diperlukan untuk mencegah potensi konflik baru.
Langkah revisi UU tentang titik koordinat batas wilayah menjadi rekomendasi strategis agar sengketa serupa tidak terulang.(*)
Berlangganan gratis WA NEWS EKOIN lewat saluran Whatsapp EKOIN di : https://whatsapp.com/channel/0029VbAEmcR6mYPIvKh3Yr2v