Jakarta, EKOIN.CO – Sidang kasus yang melibatkan terdakwa Bambang Gatot Ariyono, Alwin Albar, dan Supianto kembali digelar di ruang sidang Wirjono Projodikoro 2, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Persidangan yang dimulai pukul 11.28 WIB tersebut mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi terkait kasus pengelolaan tambang dan kerja sama smelter oleh PT Timah.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Fajar Kusuma, dengan anggota Aryo dan Sukartono, memulai sidang dengan memastikan kesehatan para terdakwa. “Bagaimana kondisi kesehatan para terdakwa?” tanya Ketua Hakim. Setelah dinyatakan sehat, sidang dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan saksi.
Saksi Agung Pratama menjelaskan bahwa dirinya mengenal Alwin Albar, tetapi tidak mengenal Bambang Gatot maupun Supianto. Ia mengungkap adanya kerja sama smelter antara PT Timah dan pihak lain pada tahun 2018. “Instruksi perjanjian tersebut tertuang dalam dokumen nomor 303, yang mengatur pengelolaan hasil tambang dan pemurnian timah,” terang Agung.
Lebih lanjut, Agung memaparkan data produksi PT Timah yang mencatat hasil tambang sebesar 82.000 ton pada 2019, 39.000 ton pada 2020, dan 24.000 ton pada 2021. Ia juga menambahkan bahwa pada 2018–2019, PT Timah menyewa lima smelter dengan biaya $3.700 per ton untuk menangani tingginya produksi. Namun, ia mengaku tidak mengetahui adanya pertemuan tertentu di Jakarta terkait kerja sama tersebut.
Saksi Budi Hatari, yang juga hadir di persidangan, menegaskan bahwa kerja sama pada 2019 dilakukan untuk memastikan hasil tambang tidak keluar dari PT Timah. “Tujuan dokumen 030 adalah pengamanan hasil bijih timah. Namun, saya bingung dengan perubahan harga smelter dari $3.700 menjadi $4.000 per ton,” ujarnya.
Dalam sidang ini, saksi lainnya, Rudi Hatari, yang menjabat Kepala Bidang Perizinan PT Timah, menjelaskan pengelolaan tambang ilegal di Bangka. Menurutnya, hasil tambang ilegal yang tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP) akan diambil PT Timah dan diberikan kompensasi sesuai aturan.
“Tambang ilegal di Bangka yang tidak memiliki IUP harus diserahkan ke PT Timah atau dilelang melalui mekanisme yang diatur,” jelas Rudi. Ia juga menegaskan bahwa sebagian besar wilayah IUP (92%) adalah milik PT Timah, dengan sisanya dikuasai oleh pihak swasta. (*)