Jakarta Pusat, EKOIN.CO – Sidang perkara pidana nomor 23/Pid.TPK/2025/PN.Jakarta Pusat dengan terdakwa Hendry Lie digelar di ruang sidang Prof. Dr. Kusumahatmaja, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Senin, 3 Februari 2025. Sidang yang dimulai pukul 10.45 WIB ini mengagendakan pembacaan eksepsi dari tim penasihat hukum Hendry Lie terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tony Irfan, dengan dua anggota hakim, Teguh Santoso dan Mardiantos. Jaksa Penuntut Umum yang bertugas adalah Silvi.
Dalam sidang tersebut, tim penasihat hukum Hendry Lie menyampaikan nota keberatan atas surat dakwaan yang diajukan oleh JPU. Mereka menegaskan bahwa surat dakwaan tidak tepat, tidak adil, dan tidak sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku. “Kami menyadari bahwa tujuan persidangan ini adalah mencari kebenaran dan keadilan, dua prinsip yang tak boleh tergerus oleh kepentingan apa pun, termasuk tekanan publik dan opini yang berkembang di masyarakat,” ujar salah satu penasihat hukum Hendry Lie dalam persidangan.
Menurut tim kuasa hukum, Hendry Lie didakwa dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham PT Tinindo Internusa, salah satu perusahaan smelter yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk. Namun, mereka menekankan bahwa terdakwa bukan pengurus atau pemegang saham PT Tinindo Internusa pada periode 2015-2022 serta tidak mengetahui proses kerja sama penyewaan dan pemrosesan timah dengan PT Timah Tbk. “Terdakwa tidak pernah menghadiri pertemuan maupun menandatangani perjanjian kerja sama antara PT Tinindo Internusa dan PT Timah Tbk,” tegas tim penasihat hukum.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum juga membantah tuduhan JPU yang menyebut bahwa PT Tinindo Internusa berperan dalam membentuk dan mengendalikan CV Semar Jaya Perkasa, CV Bukit Persada Raya, dan CV Kawan Makmur Sejati sebagai sarana pengumpulan dana secara ilegal. “Jangankan membentuk dan mengendalikan, terdakwa bahkan tidak mengetahui nama dan keberadaan CV tersebut,” tambah mereka.
JPU menuduh bahwa kerja sama yang dilakukan PT Tinindo Internusa serupa dengan skema perbuatan perusahaan smelter swasta lainnya yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi timah. Namun, pihak penasihat hukum menilai bahwa fakta hukum yang terjadi di PT Tinindo Internusa berbeda dengan perusahaan smelter swasta lainnya. “Jaksa telah memaksakan agar PT Tinindo Internusa berada dalam lingkaran yang sama dengan perusahaan lain, meskipun faktanya tidak demikian,” jelas tim penasihat hukum Hendry Lie.

Tim penasihat hukum juga menyoroti aspek hukum yang digunakan dalam dakwaan JPU. Mereka berargumen bahwa dakwaan yang diajukan tidak tepat karena tidak termasuk dalam substansi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. “Seharusnya perkara ini diperiksa dalam pengadilan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, bukan di pengadilan tindak pidana korupsi,” ungkap kuasa hukum.
Selain itu, mereka menyoroti penghitungan kerugian negara akibat dugaan tindak pidana ini. Jaksa mendasarkan perhitungannya pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014, yang seharusnya digunakan dalam gugatan perdata atas kerusakan lingkungan. “Kerugian lingkungan yang dihitung berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan untuk dijadikan dasar dalam perkara tindak pidana korupsi. Seharusnya kasus ini diperiksa dalam pengadilan lingkungan hidup, bukan di pengadilan tindak pidana korupsi,” ujar tim penasihat hukum.
Tim penasihat hukum juga mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 41 disebutkan bahwa perkara pidana yang menyangkut perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan peraturan pelaksanaannya, merupakan kewenangan peradilan umum yang wajib diperiksa sebagai perkara tindak pidana lingkungan hidup oleh majelis hakim lingkungan hidup. Oleh karena itu, mereka menilai bahwa perkara ini seharusnya tidak diperiksa di pengadilan tindak pidana korupsi.
Selain itu, tim kuasa hukum juga menyoroti bahwa surat dakwaan JPU tidak disusun dengan cermat, jelas, dan lengkap. Mereka berargumen bahwa surat dakwaan tidak menguraikan secara spesifik peran terdakwa dan kualifikasi perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan. Merujuk pada Pasal 143 ayat 2 KUHAP, mereka menegaskan bahwa surat dakwaan harus memenuhi syarat materiil dengan uraian yang jelas dan rinci.
Sidang yang berlangsung kurang lebih 45 menit itu akhirnya ditutup pada pukul 10.30 WIB dan akan dilanjutkan pada agenda persidangan berikutnya. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan menjadwalkan sidang lanjutan untuk mendengarkan tanggapan JPU terhadap eksepsi yang telah disampaikan oleh tim kuasa hukum terdakwa. (*)