Jakarta, EKOIN.CO — Pengusaha Hendry Lie didakwa terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Jaksa mendakwa Hendry Lie menerima uang sebesar Rp 1 triliun dalam skandal ini. Sidang pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis (30/1/2025) pukul 10.25 hingga 10.55 WIB di Ruang Sidang Prof. Dr. Kusumahatmaja.
Dakwaan Terhadap Hendry Lie
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tony Irfan dengan anggota Teguh Santoso dan Mardiantos, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Silvi dan Luhut menegaskan bahwa Hendry Lie, selaku pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa, memperoleh keuntungan besar dari kerja sama dengan PT Timah.
“Terdakwa Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.059.577.589.599,19,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan di persidangan.
Jaksa mengungkapkan bahwa Hendry Lie bekerja sama dengan sejumlah pihak, termasuk Rosalina (General Manager PT Tinindo Internusa), Fandy Lingga (Marketing PT Tinindo Internusa), dan Suparta (Direktur Utama PT Refined Bangka Tin). Mereka terlibat dalam skema ilegal pengelolaan timah sejak 2008 hingga Agustus 2018.
Modus Operandi Korupsi
Dalam dakwaan, jaksa menjelaskan modus yang digunakan Hendry Lie. Ia disebut menandatangani surat penawaran kerja sama sewa alat pengolahan timah dengan PT Timah, meskipun smelter-swasta yang bekerja sama tidak memiliki kelayakan teknis.
“Hendry Lie mengetahui bahwa smelter-smelter swasta tersebut tidak memiliki kompetensi yang memadai, namun tetap melanjutkan kerja sama,” kata jaksa.
Hendry bersama Fandy dan Rosalina juga membeli dan mengumpulkan bijih timah dari penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah. Perusahaan afiliasi seperti CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa digunakan sebagai mitra borongan yang diberi surat perintah kerja oleh PT Timah.
Selain itu, dalam sebuah pertemuan di Hotel Novotel Pangkal Pinang, Hendry dan para pelaku lain membahas permintaan bijih timah sebesar 5 persen dari kuota ekspor smelter swasta. Jaksa menegaskan bahwa timah yang diekspor berasal dari penambangan ilegal.
Kerugian Negara dan Dampak Lingkungan
Jaksa mengungkapkan bahwa akibat praktik ini, negara mengalami kerugian hingga Rp 300 triliun. Penambangan ilegal yang dibiarkan tanpa pengawasan juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang serius.
“Tidak ada pengawasan dan pembinaan dari pejabat yang berwenang, termasuk Kepala Dinas ESDM Kepulauan Bangka Belitung dan Dirjen Minerba Kementerian ESDM. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan di dalam dan luar kawasan hutan IUP PT Timah,” jelas jaksa.
Dalam skema ini, beberapa pihak menerima aliran dana besar, termasuk:
- Hendry Lie (PT Tinindo Internusa) — Rp 1,05 triliun
- Suparta (PT Refined Bangka Tin) — Rp 4,57 triliun
- Tamron alias Aon (CV Venus Inti Perkasa) — Rp 3,66 triliun
- Robert Indarto (PT Sariwiguna Bina Sentosa) — Rp 1,92 triliun
- Harvey Moeis dan Helena — Rp 420 miliar
Jaksa mendakwa Hendry Lie dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14,” ungkap jaksa dalam persidangan. (*)