Jakarta, ÈKOIN.CO — Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan kekhawatiran atas rencana Presiden Prabowo Subianto yang berniat membawa seribu pengungsi asal Gaza ke Indonesia. Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, dalam sebuah keterangan resmi pada Rabu, 9 April 2025.
Dalam penjelasannya, Anwar mempertanyakan motif di balik kebijakan tersebut, yang dinilai dapat mencerminkan dukungan Indonesia terhadap agenda Amerika Serikat dan Israel dalam mengosongkan wilayah Gaza. Ia merujuk pada pidato Prabowo yang mengisyaratkan kemungkinan pemindahan warga Gaza sebagai langkah kemanusiaan.
“Pertanyaannya untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut? Bukankah Israel dan Donald Trump sudah menyampaikan keinginannya untuk mengosongkan Gaza?” ujar Anwar Abbas dalam pernyataan tertulis yang dikutip dari berbagai media nasional.
Transisi dari rencana kemanusiaan menuju kekhawatiran geopolitik tampak jelas dari nada pernyataan MUI. Anwar mengingatkan bahwa relokasi, meskipun terdengar sebagai bentuk kepedulian, memiliki implikasi strategis yang justru dapat memperkuat dominasi Israel atas wilayah Gaza.
Ia menambahkan, pemerintah Indonesia semestinya berhati-hati dalam mengambil langkah yang dapat ditafsirkan sebagai dukungan terhadap agenda politik yang bertentangan dengan perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Jika pemerintah Indonesia ikut serta memindahkan warga Gaza dari tanah kelahirannya, maka sama saja mendukung Israel dan AS untuk menduduki dan menguasai wilayah Gaza,” tegas Anwar.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ide pengosongan Gaza sebelumnya telah menjadi bagian dari proposal perdamaian yang diusulkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Rencana tersebut, menurutnya, telah ditolak oleh banyak pihak karena dianggap sebagai bagian dari strategi perluasan pendudukan.
“Rencana pengosongan Gaza untuk tujuan relokasi diajukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai proposal perdamaian di Timur Tengah. Tetapi rencana tersebut ditentang sejumlah pihak sebagai bagian dari tipu muslihat pendudukan Israel di Gaza,” kata Anwar.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Istana Negara mengenai pernyataan Anwar Abbas tersebut. Namun, wacana ini telah memicu diskusi luas di kalangan publik dan pemangku kebijakan terkait posisi Indonesia dalam isu Palestina.
Kekhawatiran MUI ini tidak berdiri sendiri. Beberapa tokoh dan pengamat internasional sebelumnya juga menyoroti kemungkinan relokasi warga Gaza ke luar wilayah Palestina sebagai bentuk pengaburan konflik. Mereka menilai bahwa solusi kemanusiaan seharusnya tidak memisahkan warga dari tanah kelahirannya, melainkan menjamin hak-hak mereka untuk hidup merdeka di negerinya sendiri.
Dalam konteks ini, Anwar Abbas menekankan bahwa solidaritas terhadap warga Palestina tidak bisa dibangun dengan cara memindahkan mereka ke negara lain, melainkan harus diwujudkan dalam bentuk tekanan diplomatik terhadap penjajahan dan kekerasan yang mereka alami.
“Jika warga Gaza direlokasi, siapa yang akan mempertahankan tanah mereka? Siapa yang akan menjaga rumah dan masjid yang mereka tinggalkan? Kita harus sadar bahwa ini bukan hanya soal kemanusiaan, tapi juga soal kedaulatan,” ungkap Anwar.
Seperti diketahui, konflik di Gaza terus memanas dalam beberapa bulan terakhir. Korban sipil terus berjatuhan akibat serangan militer Israel, sementara akses bantuan kemanusiaan semakin terbatas. Dalam kondisi ini, banyak negara menyoroti perlunya gencatan senjata dan solusi politik yang adil, namun sebagian lainnya justru mendorong opsi relokasi sebagai jalan keluar.
Presiden Prabowo Subianto sendiri dalam beberapa kesempatan menyatakan keprihatinannya terhadap penderitaan rakyat Gaza. Dalam pidatonya, ia menyebut Indonesia bersedia membantu secara nyata, termasuk melalui kemungkinan menampung pengungsi sebagai langkah darurat kemanusiaan.
Namun, wacana ini kemudian memicu perdebatan di dalam negeri. Sejumlah pihak menganggap langkah tersebut dapat membuka celah bagi perubahan permanen demografi Gaza yang justru menguntungkan kepentingan pihak penjajah. Dalam hal ini, posisi Indonesia sebagai negara yang selama ini konsisten mendukung kemerdekaan Palestina dinilai bisa menjadi ambigu jika tidak disertai kehati-hatian.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Dr. Rafiq Hasyim, dalam wawancaranya dengan media, mengingatkan pentingnya menjaga konsistensi posisi Indonesia di forum internasional. Menurutnya, solidaritas terhadap Palestina harus disalurkan dalam koridor yang mendukung perjuangan mereka, bukan malah membuka ruang bagi normalisasi pendudukan.
“Indonesia harus tetap teguh pada prinsip mendukung kemerdekaan Palestina. Setiap langkah harus dikaji dampaknya terhadap perjuangan itu sendiri,” kata Dr. Rafiq.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada penjelasan lebih lanjut dari pemerintah mengenai mekanisme dan pertimbangan di balik rencana pemindahan pengungsi Gaza. Namun pernyataan MUI membuka ruang dialog publik yang lebih luas tentang bagaimana Indonesia seharusnya bersikap dalam krisis kemanusiaan yang kompleks dan sarat kepentingan politik global ini. (*)