Sumenep, EKOIN.CO – Sebanyak 20 hektar lahan yang kini berada di kawasan laut Desa Gresik Putih, Dusun Tapak Kerbau, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, ditemukan telah bersertifikat hak milik atas nama perorangan. Temuan ini menimbulkan pertanyaan di masyarakat setempat, mengingat lahan tersebut telah lama digunakan warga untuk mencari ikan.
Menurut Kasi Pendaftaran Hak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep, Suprianto, sertifikat hak milik tersebut diajukan sejak tahun 2009. “Itu pada waktu itu tahun 2009. Itu dilaksanakan pada waktu adjudikasi, tim ukurnya juga dari pihak ketiga,” ungkapnya saat ditemui.
Hasil penelusuran BPN menunjukkan bahwa lahan yang kini menjadi kawasan laut tersebut dulunya merupakan daratan. “Informasi dari Pak Kepala Desa kemarin ketika kami ke lapangan itu dulu masih berupa daratan. Karena sekarang abrasi mungkin kalau pas pasang itu airnya kelihatan laut, tapi kalau pas surut kelihatan daratan,” jelas Suprianto lebih lanjut.
Rencananya, puluhan hektar lahan tersebut akan direklamasi untuk dijadikan tambak garam. Namun, sampai saat ini, BPN telah menemukan 19 sertifikat hak milik yang tercatat di kawasan itu. Untuk menindaklanjuti permasalahan ini, tim inventarisasi dari BPN telah diterjunkan ke lokasi.
Suprianto juga menambahkan bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan atas keberadaan sertifikat ini, langkah hukum adalah opsi yang dapat ditempuh. “Jika ada pihak yang dirugikan, kami sarankan menggugat secara hukum,” tegasnya.
Menurut penuturan warga setempat, kawasan laut yang kini dipermasalahkan tersebut selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Banyak warga yang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan di kawasan itu. Namun, dengan rencana reklamasi untuk tambak garam, kekhawatiran muncul terkait dampaknya terhadap kelangsungan ekonomi lokal.
“Kalau benar jadi tambak garam, kami harus mencari tempat baru untuk menangkap ikan. Ini akan sangat berat,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya.
BPN Sumenep mengakui bahwa proses pengukuran dan penerbitan sertifikat pada tahun 2009 dilakukan oleh tim pihak ketiga saat pelaksanaan adjudikasi. Suprianto menegaskan bahwa BPN tidak dapat langsung membatalkan sertifikat yang telah diterbitkan kecuali melalui proses hukum. “Kami hanya bisa memverifikasi dan memberikan informasi yang kami punya. Untuk pembatalan, harus ada keputusan hukum,” katanya.
Hingga saat ini, tim inventarisasi dari BPN terus bekerja di lapangan untuk mengumpulkan data dan menemukan solusi terbaik bagi semua pihak. Di sisi lain, masyarakat berharap ada mediasi antara pemilik sertifikat dan warga untuk mencari jalan keluar tanpa merugikan siapapun.
Temuan ini menjadi perhatian serius karena menyangkut hak masyarakat, legalitas kepemilikan, dan keberlangsungan lingkungan. Reklamasi laut bukan hanya memengaruhi ekosistem, tetapi juga kehidupan sosial dan ekonomi warga di sekitarnya. (*)