Jakarta, EKOIN.CO — Aksi nyata peduli lingkungan ditunjukkan oleh seorang bocah di Surabaya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD Al Hikmah. Dewangga Kasyafa Prestian, yang baru berusia 10 tahun, telah mengolah lebih dari 46 ton sampah organik dalam kurun waktu setahun terakhir.
Kegiatan pengolahan sampah ini bermula pada 20 Februari 2024, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-9 Dewangga. Saat itu, ia menerima hadiah berupa 20 gram telur maggot Black Soldier Fly (BSF) dan sepasang anak ayam. Hadiah sederhana itu menjadi awal dari proyek lingkungan hidup yang kini telah menjelma menjadi aksi berskala luas.
“Berawal dari 20 gram telur maggot BSF dan sepasang anak ayam sebagai hadiah ulang tahun yang saya terima Februari 2024, saya telah mengurai lebih dari 46 ton sampah organik yang digunakan sebagai pakan ternak bernutrisi,” ujar Dewangga Kasyafa Prestian saat ditemui di rumahnya di kawasan Wonocolo, Surabaya.
Seiring waktu, Dewangga berhasil membudidayakan maggot BSF sebanyak 4.200 kilogram dan menghasilkan 875 kilogram kasgot (sisa maggot). Produk yang dihasilkan dari proyek ini pun beragam, mulai dari fresh maggot, dried maggot, pelet ternak, pupuk organik cair, hingga ayam kampung dan ikan lele.
“Produk dari proyek lingkungan saya adalah fresh maggot, dried maggot, pelet ternak, pupuk organik cair, ikan lele, dan ayam kampung,” terang Dewangga, putra pasangan Dodyk Prestian dan Dia Sofiarini.
Untuk mendukung operasional proyeknya, Dewangga menjalin kemitraan dengan tiga kampung, satu sekolah, dan satu pasar. Ia mengumpulkan bahan baku sampah organik setiap sore sepulang sekolah. “Kecuali pasar, karena ngambilnya harus siang,” tuturnya.
Aksi ini tak hanya memberi manfaat lingkungan, tapi juga menghasilkan nilai ekonomi. Dari penjualan produk lingkungan hidupnya, Dewangga telah mengantongi pendapatan sebesar Rp16.303.000. Pendapatan tersebut sebagian besar berasal dari penjualan ayam kampung dan lele.
Motivasi Dewangga muncul dari kepeduliannya pada kondisi lingkungan sekitar, terutama permasalahan sampah organik yang menumpuk dan tidak terkelola. Ia juga menyoroti tragedi longsor di TPA Leuwigajah sebagai pemicu semangatnya dalam memilih proyek ini.
“Saya melihat banyaknya tumpukan sampah organik dan warga yang belum memilah sampah dengan benar. Kejadian longsor di TPA sampah Leuwigajah dengan korban ratusan pemulung meninggal membuat saya mantap dengan proyek ini,” ungkapnya.
Aksi Dewangga mendapat banyak pengakuan. Di tingkat nasional, ia menyabet Juara III dan Juara I dalam ajang Keluarga Sadar Iklim & Tanggap Bencana Nasional 2024 dari Kementerian Sosial. Sementara di tingkat Kota Surabaya, ia menjadi Pangeran 4 Lingkungan Hidup 2024 dan meraih dua penghargaan lainnya dalam kategori pengolahan sampah organik serta ekspos media massa.
Dalam mengembangkan proyeknya, Dewangga juga mengalami berbagai kendala teknis. Ia terus belajar melalui praktik langsung. “Trial error selalu ada pas pertama. Bagaimana caranya supaya maggot betah di kandang gak kabur, bikin kandang untuk lalat BSF supaya bisa bertelor, suhu dan kelembaban supaya maggot yang dihasilkan bagus dan masih banyak lagi lainnya. Learning by doing semuanya,” pungkasnya.
Kini, rumah Dewangga dikenal sebagai lokasi kandang maggot. Warga sekitar pun mulai ikut berpartisipasi dalam proyek ini dengan menyumbangkan sampah organik. “Warga sekitar rumah saya kini tak lagi buang sampah organik di tempat sampah, tapi mendonasikannya ke kandang maggot DW sebagai pakan maggot BSF,” tambah Dewangga.