EKOIN.CO – I Gusti Ngurah Rai gugur dalam pertempuran sengit melawan Belanda di Desa Marga, Kecamatan Margarana, Tabanan, Bali. Peristiwa yang dikenal sebagai Puputan Margarana ini menjadi puncak perlawanannya menolak proyek Negara Indonesia Timur (NIT) pascaperundingan Linggarjati. Bersama 96 pejuang lainnya, ia bertempur hingga titik darah penghabisan.
Sebelumnya, pada 18 November 1946, pasukan Ciung Wanara pimpinan Ngurah Rai menyerang markas Belanda di Tabanan. Serangan balasan Belanda dua hari kemudian menghancurkan basis perlawanan di Marga. “Kata Puputan berarti berperang sampai akhir,” seperti dikutip dari laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia Kemdikbud.
Ngurah Rai lahir di Desa Cilangsari, Badung, Bali, pada 30 Januari 1917. Pendidikan militernya dimulai di Gianyar (1936-1940) sebelum melanjutkan pelatihan senjata berat di Magelang (1941). Setelah Jepang menyerah, ia memimpin perebutan senjata dari tentara Jepang, meski upaya itu gagal akibat kebocoran informasi.
Pada Januari 1946, ia bersama Cokorda Ngurah dan Wayan Debes berlayar ke Yogyakarta untuk meminta bantuan TRI. Di sana, Panglima Sudirman dan Jenderal Oerip Soemohardjo mengangkatnya sebagai Komandan TRI Sunda Kecil. “Kami harus memastikan Bali tetap bagian dari Republik,” ujar Ngurah Rai dalam pertemuan dengan Presiden Soekarno, seperti dicatat dalam arsip Museum Perjuangan Bali.
Penolakannya terhadap NIT membuat Belanda geram. Proyek van Mook itu dinilainya sebagai upaya pecah-belah. Pada 1975, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden No.063/TK/1975. Namanya kini diabadikan sebagai bandara internasional di Bali dan wajahnya menghiasi uang Rp50.000. (photo diambil dari Pojoksatu.id)