Jakarta, EKOIN.CO – Fenomena unik akan terjadi pada tahun 2030, di mana bulan Ramadan akan berlangsung dua kali dalam satu tahun. Hal ini disebabkan oleh perbedaan panjang tahun dalam kalender Masehi dan Hijriah.
Guru Besar Fisika Teori IPB University, Prof. Husin Alatas, menjelaskan bahwa dalam ilmu fisika, besaran waktu masih menjadi misteri yang belum sepenuhnya terungkap. “Meskipun demikian, bagi manusia, waktu merupakan sesuatu yang nyata dirasakan setiap hari, yang dirasakan melalui kehadiran perubahan di semua aspek kehidupan. Termasuk perubahan yang terkait dengan fenomena alam tertentu,” ujarnya.
Dalam menjelaskan fenomena ini, Prof. Husin menguraikan bahwa pengukuran waktu dilakukan dengan memanfaatkan fenomena periodik di alam. Saat ini, penentu waktu yang sangat akurat adalah jam kisi optik yang memanfaatkan transisi frekuensi optik pada atom-atom seperti Ytterbium (Yb), Strontium (Sr), ataupun Aluminum (Al). “Penentuan satuan waktu yang akurat memanfaatkan pola turun-naik level energi elektron pada atom-atom tersebut yang sangat stabil,” tambahnya.
Secara tradisional, waktu juga diukur berdasarkan pergerakan semu matahari akibat rotasi bumi, serta revolusi bumi mengelilingi matahari yang menentukan pergantian tahun dan bulan. “Selain itu, gerak periodik bulan juga telah lama digunakan untuk penentuan waktu tahunan, terutama dalam kaitannya dengan pergantian bulan pada kalender lunar, seperti kalender Hijriah,” kata Prof. Husin.
Berdasarkan gerak periodiknya, bulan memiliki dua jenis revolusi: gerak sideral dan gerak sinodik. Gerak sideral diukur berdasarkan posisi relatif bulan terhadap objek tetap di langit, seperti bintang dan galaksi, dengan satu periode sekitar 27,32 hari. Sedangkan periode sinodik, yang digunakan sebagai patokan fase bulan, berlangsung selama 29,53 hari. Orbit bulan yang berbentuk elips dan kemiringan orbitnya sekitar 5,1 derajat terhadap orbit bumi menyebabkan adanya fase-fase bulan, termasuk bulan baru, sabit muda, purnama, hingga sabit tua.
Pada fase bulan baru atau konjungsi, bulan, matahari, dan bumi berada dalam satu garis lurus. Cahaya matahari yang mulai terpantul dari bulan saat bergeser dari posisi ini dikenal sebagai hilal, yang menjadi penanda awal bulan dalam kalender Hijriah.
Fenomena Ramadan terjadi dua kali dalam setahun disebabkan oleh perbedaan panjang tahun antara kalender Masehi dan Hijriah. Kalender Masehi memiliki 365,24 hari, sedangkan kalender Hijriah hanya 354,36 hari, yang menghasilkan selisih sekitar 10,88 hari per tahun. “Karena perbedaan panjang hari tersebut, maka terdapat peluang tanggal satu bulan Hijriah tertentu dapat terjadi dua kali dalam satu tahun Masehi, termasuk bulan Ramadan. Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2030 mendatang, akan ada dua tanggal satu Ramadan,” jelas Prof. Husin.
Penetapan awal bulan dalam kalender Hijriah dapat dilakukan melalui dua metode utama, yaitu perhitungan matematis (hisab) dan observasi langsung (rukyat). “Perlu direnungkan bahwa keduanya pada hakikatnya merupakan fondasi utama sains modern saat ini, yakni prediksi dan observasi,” pungkasnya.