Washington, EKOIN.CO — Ketegangan dalam hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali mengemuka. Dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers tahun 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), Pemerintah AS menyuarakan kekhawatiran mereka atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 21 Tahun 2019 mengenai standar nasional Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS).
Seperti yang tercantum dalam dokumen resmi tersebut, Amerika Serikat menilai bahwa kebijakan QRIS dinilai tidak membuka ruang yang cukup bagi perusahaan teknologi keuangan (fintech) asing, khususnya yang berbasis di AS. “Peraturan ini menciptakan tantangan bagi perusahaan kami yang ingin berpartisipasi dalam sistem pembayaran Indonesia,” ujar juru bicara USTR dalam pernyataan resminya.
Selain QRIS, USTR juga mengkritisi Peraturan Bank Indonesia Nomor 19 Tahun 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Regulasi ini mewajibkan seluruh transaksi domestik untuk diproses melalui penyedia layanan pembayaran yang memiliki lisensi dari Bank Indonesia. AS menilai, kebijakan tersebut sebagai bentuk hambatan non-tarif yang menyulitkan perusahaan asing memasuki pasar domestik Indonesia.
Dikutip dari laman resmi ustr.gov, laporan NTE 2025 menyatakan bahwa regulasi seperti PBI 21/2019 dan PBI 19/2017 “tidak selaras dengan semangat perdagangan bebas dan adil”. Hal ini menambah daftar panjang kritik Washington terhadap arah kebijakan ekonomi digital yang diterapkan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Namun demikian, pihak Indonesia menanggapi laporan tersebut dengan sikap hati-hati. Deputi Gubernur Bank Indonesia, Doni Primanto Joewono, menegaskan bahwa QRIS merupakan bentuk inovasi nasional yang lahir dari kebutuhan memperluas akses keuangan digital secara merata. “QRIS adalah bagian dari strategi kami untuk menciptakan inklusi keuangan dan mendorong ekonomi digital yang lebih luas,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (2/4/2025).
Ia juga menambahkan bahwa peraturan QRIS tidak diskriminatif, melainkan bersifat terbuka sepanjang pihak asing bersedia mengikuti regulasi domestik. “Kami tidak melarang pihak luar masuk, tapi semua pelaku, lokal maupun asing, harus tunduk pada aturan yang berlaku,” katanya.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa hingga Juni 2024, QRIS telah digunakan oleh lebih dari 32,7 juta pelaku usaha dan menjangkau sekitar 50,5 juta pengguna aktif. Sebagian besar dari mereka berasal dari sektor informal dan UMKM, yang sebelumnya belum terjangkau layanan perbankan.
Transisi dari sistem pembayaran konvensional ke QRIS telah memberikan dampak besar terhadap perputaran ekonomi mikro. Pelaku usaha kecil tidak lagi membutuhkan mesin EDC mahal, cukup mencetak QR Code yang bisa dipindai melalui ponsel pintar. “Ini memudahkan kami dalam menerima pembayaran, bahkan dari pelanggan luar daerah,” kata Siti Rahayu, pemilik warung sembako di Bantul, DIY.
Dari sudut pandang ekonomi makro, kebijakan ini juga memberi keuntungan berupa digitalisasi transaksi yang dapat mendukung akurasi pencatatan fiskal. Dengan semakin banyaknya data transaksi digital, pemerintah memiliki peluang untuk merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran, termasuk dalam distribusi bantuan sosial atau kredit mikro.
Polemik ini memperlihatkan bagaimana sistem pembayaran digital menjadi arena baru dalam kompetisi geopolitik global. Di era dominasi teknologi, negara-negara berlomba-lomba mengamankan sistem pembayaran mereka untuk menjaga kedaulatan ekonomi. “QRIS bukan sekadar alat transaksi, tapi simbol dari kemandirian digital Indonesia,” kata Doni Primanto Joewono dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, di kalangan pelaku industri fintech lokal, kritik dari AS dinilai kurang relevan. “Kami mendukung regulasi yang mendorong keamanan dan kedaulatan. Justru yang perlu dikritisi adalah platform asing yang tidak mau tunduk pada aturan,” ujar Arya Wibowo, CEO PT Payku Digital Indonesia, salah satu penyedia layanan pembayaran domestik.
Pemerintah Indonesia hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait desakan AS untuk meninjau ulang regulasi QRIS dan GPN. Namun sejumlah pengamat memperkirakan, isu ini dapat mencuat dalam pertemuan bilateral Indonesia-AS yang dijadwalkan pada kuartal ketiga 2025 mendatang.
Perlu dicatat bahwa laporan NTE bukanlah kebijakan resmi yang mengikat, melainkan catatan tahunan AS terhadap apa yang mereka nilai sebagai hambatan perdagangan di berbagai negara mitra. Namun dalam sejarahnya, laporan ini sering dijadikan dasar lobi-lobi dagang dan tekanan diplomatik terhadap negara-negara berkembang.
Dalam konteks ini, QRIS tampaknya bukan hanya soal efisiensi pembayaran, tetapi juga ujian bagi Indonesia dalam mempertahankan otonomi ekonomi digitalnya. Dengan dukungan publik dan pemangku kepentingan domestik, langkah Indonesia mempertahankan regulasi ini berpotensi menjadi preseden penting dalam arsitektur tata kelola keuangan digital kawasan.
Meski mendapat tekanan dari Washington, Indonesia tetap membuka ruang dialog untuk kerja sama regional dalam sistem pembayaran digital. Bank Indonesia telah menjalin kemitraan dengan sejumlah bank sentral negara ASEAN untuk mengembangkan konektivitas QR antarnegara, seperti proyek QR cross-border antara Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Langkah ini membuktikan bahwa Indonesia tidak menutup diri terhadap kolaborasi global, namun tetap mengutamakan prinsip kesetaraan dan saling menghormati yurisdiksi masing-masing.
Ke depan, pemerintah Indonesia bersama Bank Indonesia berkomitmen untuk terus menyempurnakan regulasi sistem pembayaran agar tetap adaptif terhadap dinamika global tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Upaya membangun arsitektur pembayaran nasional yang kuat adalah bagian dari strategi besar Indonesia dalam memperkuat ketahanan ekonomi digital. Dalam dunia yang kian kompleks dan saling terhubung, keberanian menetapkan standar nasional bukanlah bentuk isolasi, melainkan penegasan arah pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan. (*)