Jakarta, EKOIN.CO – Film Jumbo produksi Visinema Animation resmi mencatatkan sejarah sebagai film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa. Setelah tayang perdana pada 31 Maret 2025 di jaringan bioskop nasional, film ini berhasil menarik perhatian lebih dari satu juta penonton hanya dalam waktu tujuh hari.
Pencapaian tersebut membuat Jumbo melampaui rekor film animasi lokal sebelumnya, Si Juki The Movie: Panitia Hari Akhir (2017) yang meraih 642.312 penonton selama masa penayangannya. Menurut pernyataan resmi Visinema, keberhasilan ini bukan sekadar angka, tetapi simbol dukungan masyarakat terhadap karya anak bangsa.
Produser Jumbo, Anggia Kharisma, menyampaikan rasa terima kasihnya atas apresiasi besar dari publik. “Angka-angka ini bukan hanya tentang penjualan tiket. Angka-angka ini mewakili cinta, harapan, dan kepercayaan masyarakat terhadap cerita lokal kita sendiri,” ucapnya, Minggu (6/4/2025), seperti dilansir dari Variety.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Ryan Adriandhy ini mengisahkan Don, seorang anak bertubuh besar yang sering dipanggil “Jumbo”. Ia bermimpi mewujudkan pertunjukan dari buku dongeng peninggalan orangtuanya. Dalam perjalanannya, ia bertemu Meri, seorang gadis dari dunia lain yang tengah mencari orangtuanya.
Film Jumbo diputar di 659 layar di seluruh Indonesia dan mendapat sambutan positif dari masyarakat luas. Keberhasilannya juga tidak terlepas dari promosi organik yang dilakukan warganet secara sukarela. Konten-konten viral di media sosial turut mendorong banyak penonton untuk datang ke bioskop.
Sutradara Ryan Adriandhy tak menyembunyikan rasa harunya. Melalui pernyataan yang dikutip dari Cartoon Brew, ia menyampaikan, “7 hari penayangan. 1.000.000++ penonton mau memberikan kesempatan menonton usaha kami bercerita, dan berbagi cintanya!! Saya cuma pernah memimpikan ini, kalian yang ke bioskop dan mewujudkan. Thank you Geng!!!”
Media internasional pun memberikan perhatian besar terhadap capaian Jumbo. Variety memuji film ini karena mampu bersinar di tengah pasar lokal yang kompetitif. The Express Tribune juga menyoroti keberhasilan film ini menembus pasar bioskop yang 50 persen masih didominasi oleh film horor.
Film Jumbo dinilai tampil menonjol berkat temanya yang hangat dan ramah keluarga. Cerita tentang persahabatan, harapan, dan ikatan keluarga menjadi daya tarik utama. Lebih dari 420 animator dan kreator lokal terlibat dalam produksi yang berlangsung selama lima tahun tersebut, menjadi bukti nyata kekuatan industri animasi dalam negeri.
Gazettely, media lain yang ikut menyoroti film ini, menyatakan bahwa Jumbo hadir di saat industri animasi Indonesia masih jarang tampil di layar lebar. Penayangan film ini menarik perhatian distributor mancanegara, dan berpeluang tayang lebih luas secara global.
Dikabarkan, Jumbo akan mulai diputar di bioskop Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam pada Juni 2025. Tidak berhenti di situ, Visinema juga merencanakan penayangan film ini di berbagai negara Asia dan Eropa, termasuk Rusia, Ukraina, kawasan Baltik, serta Asia Tengah.
Keberhasilan Jumbo menjadi titik balik penting dalam sejarah animasi Indonesia. Selain membuka jalan bagi karya sejenis, film ini juga menunjukkan bahwa pasar domestik siap mendukung film animasi lokal berkualitas.
Sebagai rumah produksi yang berdiri sejak 2008, Visinema Group menuai banyak apresiasi atas keberanian dan konsistensinya mengembangkan kekayaan intelektual Indonesia melalui medium film. Keputusan untuk memprioritaskan produksi lokal dinilai sebagai langkah strategis yang membuahkan hasil gemilang.
Dengan respon positif dari dalam dan luar negeri, Jumbo membuktikan bahwa animasi buatan Indonesia memiliki potensi besar untuk bersaing secara global. Prestasi ini menjadi tonggak penting bagi para kreator lokal yang ingin membawa karya mereka ke panggung dunia.
Capaian film Jumbo tidak hanya menjadi kebanggaan nasional, tetapi juga membuktikan bahwa karya lokal mampu menembus batas industri film global yang selama ini didominasi oleh animasi dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Keberhasilan ini membuka cakrawala baru bagi para animator Indonesia yang selama ini bekerja di balik layar atau di industri outsourcing.
Film ini digarap sepenuhnya oleh tim produksi dalam negeri, menggunakan sumber daya manusia dan teknologi lokal. Dari proses pengembangan cerita, penulisan naskah, penyutradaraan, pengisian suara, hingga pasca-produksi dilakukan oleh para profesional tanah air. Hal ini mencerminkan kualitas industri kreatif Indonesia yang semakin matang.
“Ini adalah bentuk nyata dari apa yang bisa dicapai jika kita percaya pada kemampuan anak bangsa,” kata Anggia Kharisma dalam wawancara terpisah setelah pengumuman jumlah penonton. Ia menambahkan, proyek Jumbo adalah hasil kerja keras, keyakinan, dan kolaborasi lintas disiplin selama lima tahun penuh tantangan.
Menariknya, promosi film ini tidak mengandalkan kampanye iklan besar-besaran. Sebagian besar gaung Jumbo justru hadir secara organik lewat media sosial. Banyak penonton muda dan keluarga yang secara sukarela membagikan pengalaman menonton mereka, lengkap dengan cuplikan adegan dan ulasan emosional yang mengajak orang lain untuk ikut menyaksikan.
Fenomena ini diamati oleh Variety, yang menyebut bahwa “dukungan netizen terhadap Jumbo adalah contoh kekuatan komunitas digital dalam membangun momentum film independen.”
Berkat kesuksesan ini pula, sejumlah distributor luar negeri menunjukkan ketertarikannya untuk membawa Jumbo ke layar internasional. Visinema menyatakan sedang dalam tahap akhir negosiasi dengan mitra distribusi di beberapa negara Eropa Timur dan Asia.
Sementara itu, Ryan Adriandhy menyampaikan bahwa Jumbo bukan hanya proyek debutnya sebagai sutradara film panjang, tetapi juga wujud dari kecintaannya pada cerita-cerita penuh makna yang bisa menjangkau lintas generasi. Ia mengungkapkan harapannya agar film ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk terus berkarya di bidang animasi.
“Saya selalu ingin membuat cerita yang menyentuh hati, dan bisa dibagikan dari orang tua ke anak. Jumbo adalah mimpi kecil yang kami bangun bersama—dan sekarang, mimpi itu sudah melihat dunia,” ujarnya.
Di balik layar, lebih dari 420 pekerja kreatif terlibat dalam produksi film ini, mulai dari animator, ilustrator, penulis, hingga teknisi suara. Proyek ini juga melibatkan sejumlah pengisi suara ternama di Indonesia, meskipun nama-nama tersebut masih dirahasiakan oleh pihak studio hingga saat ini.
Melihat dampaknya yang begitu luas, beberapa pengamat industri menilai bahwa kesuksesan Jumbo akan mendorong semakin banyak rumah produksi Indonesia untuk berani berinvestasi di film animasi. Hal ini juga membuka peluang kerja lebih luas bagi para lulusan animasi dan seni visual yang sebelumnya kesulitan menemukan wadah berekspresi.
Tak hanya aspek artistik, dari sisi bisnis, Jumbo telah menjadi bukti bahwa film animasi lokal juga bisa kompetitif secara komersial. Apalagi, animasi merupakan genre yang memiliki daya tarik lintas usia dan budaya, sehingga potensi ekspornya sangat besar.
Dengan pencapaian ini, Visinema berharap dapat mengembangkan semesta Jumbo lebih jauh, termasuk potensi sekuel, serial, atau merchandise yang berkaitan. Pihak studio menyatakan akan terus mengembangkan kekayaan intelektual lokal (IP) yang bisa bersaing secara global. (*)