Jakarta, EKOIN.CO – Industri Wastra Nusantara dinilai memiliki potensi besar untuk berkembang dalam arus tren fesyen global, khususnya dalam konsep slow fashion yang menekankan keberlanjutan dan keadilan dalam proses produksinya. Potensi ini menjadi salah satu sorotan utama dalam keterangan resmi yang disampaikan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada Senin (21/4).
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita, menjelaskan bahwa wastra seperti batik, tenun, dan songket tidak hanya menjadi warisan budaya, namun juga solusi terhadap dampak negatif industri fast fashion yang masih mendominasi pasar global.
“Wastra Nusantara hadir bukan hanya sebagai produk budaya, melainkan juga sebagai solusi. Proses pembuatannya yang sarat nilai kearifan lokal, penggunaan bahan alami, serta filosofi yang terkandung di dalamnya menjadikan wastra sangat sejalan dengan konsep slow fashion, yakni fesyen yang menekankan kualitas, keberlanjutan, dan keadilan bagi setiap pihak,” ujar Reni.
Sebagai upaya nyata mendorong implementasi konsep berkelanjutan, Direktorat Jenderal IKMA bersama Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) menyelenggarakan webinar bertema “Cinta Wastra Nusantara: Peran IKM Wastra dalam Fesyen Berkelanjutan” pada 16 April 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara Road to HUT Dekranas ke-45 yang telah diluncurkan pada 11 Maret 2025.
Dalam sambutannya, Reni menambahkan bahwa perhatian khusus diberikan kepada industri wastra karena erat kaitannya dengan nilai-nilai ekologis yang kini menjadi fokus konsumen global. Ia juga menyoroti bagaimana pola konsumsi masyarakat berubah akibat kemudahan digital dan maraknya produksi massal.
“Kesadaran konsumen terhadap pentingnya perubahan gaya hidup dalam mendorong keberlanjutan lingkungan dan kondisi alam, mengarahkan pada tren slow fashion yang bertolak belakang dengan fast fashion,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur IKM Kimia, Sandang, dan Kerajinan, Budi Setiawan, menekankan bahwa konsep slow fashion menjadi alternatif penting untuk menciptakan industri fesyen yang beretika dan ramah lingkungan.
“Prinsip ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah dan konsumsi energi, tetapi juga membantu memastikan bahwa para pekerja di sektor mode mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang adil,” kata Budi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa wastra Indonesia sudah memenuhi syarat untuk masuk dalam jalur slow fashion karena memiliki karakteristik produksi yang teliti, memakan waktu, serta menggunakan bahan baku alami. Hal tersebut menjadikan wastra sebagai simbol keunikan dan kualitas tinggi.
“Wastra, sebagai produk mode tradisional Indonesia, memiliki karakteristik yang sangat sesuai dengan prinsip slow fashion. Proses pembuatan wastra yang perlu ketelitian dan memakan waktu lama menjadikannya simbol kualitas dan keunikan yang mendukung keberlanjutan,” imbuhnya.
Selain proses produksi yang etis, pelaku industri diimbau untuk mulai mengedukasi konsumen akan pentingnya keberlanjutan dalam fesyen. Hal ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan bahan organik, daur ulang, serta pengelolaan limbah produksi secara optimal.
“Untuk memperkuat ekosistem industri fesyen berkelanjutan yang ramah lingkungan, perajin juga dapat ikut serta mengedukasi konsumen tentang pentingnya konsep tersebut,” ucap Budi.
Sementara itu, Samuel Wattimena, desainer sekaligus anggota Komisi VII DPR yang turut hadir sebagai narasumber dalam webinar, menyoroti pentingnya mendorong wastra ke panggung dunia dengan mengangkat identitas lokal melalui jalur fesyen yang berkelanjutan.
“Ini tentu akan memperkuat identitas lokal dalam panggung mode dunia. Sebab, industri wastra tradisional terbukti membuka kesempatan lapangan kerja bagi perajin lokal, meningkatkan ekspor nasional, dan mendorong perekonomian daerah,” tegas Samuel.
Ia juga mengimbau agar kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan Dekranas diperkuat untuk mendukung pengembangan kapasitas perajin, akses bahan ramah lingkungan, serta promosi produk secara luas.